Minggu, 21 Oktober 2012

/22/



Tak banyak yang mampu aku lukiskan di awal perjumpaan kita. Aku hanya tahu, senyummu terlalu manis menghiasi wajahmu yang seringkali tersipu. Bahkan menjadi sangat manis di bawah hidungmu yang mungil. Hingga pada akhirnya kekaguman yang menuntunku untuk tahu tentangmu.

Sejauh ini hubungan kita terlampau istimewa. Jangankan amarah, berpikiran negatif tentangmu pun aku enggan. Biarlah mereka iri dengan kisah ini. Aku hanya tak mau membuat matamu basah atas kesalahanku. Air mata matamu terlalu sayang jika kau teteskan percuma. Bahkan matamu terlihat lebih berbinar dengan sedikit warna hitam yang seringkali kau goreskan sesaat sebelum kita kencan.

Asal kau tahu, aku bukan sosok yang mampu menghadirkan seribu candi di hadapanmu. Bukan pula Arjuna yang tampan dan menawan. Dalam kisah ini, aku hanya mampu memberikan apa yang seharusnya bisa aku perjuangkan.
/21/
Perkembangan anak: guru vs orang tua


Guru merupakan akronim dari konsep pemikiran orang Jawa digugu lan ditiru. Menjadi sosok yang digugu lan ditiru membuat beban seorang guru menjadi tidak mudah. Digugu menjadi perwakilan yang menggambarkan ilmu-ilmu yang ditransfer hendaklah diperhatikan dan kemudian diamalkan oleh siswa. Sementara itu, ditiru menjadi perwakilan yang menggambarkan sosok kepribadian guru yang sempurna sehingga patut dicontoh. Sosok yang dapat digugu lan ditiru seolah merupakan gambaran sosok yang tepat untuk diberi amanat untuk mencerdaskan anak. Namun, apakah di zaman yang berkembang ini sosok guru harus menanggung beban yang sedemikian berat?
            Guru pada zaman sekarang menjelma sebagai orang yang hanya bertugas menransfer ilmu kepada anak. Hal ini bergeser dari konsep digugu lan ditiru pada masa lampau. Namun, memang itu yang menjadi prioritas tugas seorang guru. Waktu anak yang tidak lebih dari 8 jam di sekolah membuat guru tidak mampu untuk banyak menransfer kepribadian sosok seorang panutan. Selagi guru menyampaikan materi dan teori yang sudah digariskan dalam kurikulum, waktu 8 jam sudah berlalu. Hal ini membuat guru tidak lagi fokus memperhatikan perkembangan kepribadian dan budi pekerti anak. Selain itu, jumlah siswa tidaklah sedikit. Dari sini bisa kita bayangkan betapa sempitnya kemungkina transfer kepribadian itu bisa berjalan maksimal.
            Lalu bagaimana dengan peran orang tua? Orang tua, khusunya di pedesaan, sering kali tidak peduli dengan perkembangan kecerdasan anak. Orang tua sering kali abai terhadap perkembangan anak baik kecerdasan akademis maupun kecerdasan berperilaku. Padahal justru di sini orang tua harus berperan dominan. Dominasi peran orang tua sudah selayaknya terwujud mengingat waktu anak di rumah lebih panjang dibanding ketika di sekolah.
            Berdasarkan pandangan di atas, peran orang tua menjadi sangat jelas. Sementara guru bertugas mencerdaskan anak dalam sisi akademis, maka seharusnya orang tua bertugas mencerdaskan kepribadian anak. Orang tua mengajarkan bagaimana menjadi insan yang baik di mata masyarakat maupun di mata Tuhan. Kemudian guru bertugas menyuapai serentetan teori sebagai bekal kelak bertahan hidup dan menghadapi kemajuan zaman. Selain itu, tugas lebih orang tua adalah menemani belajar ketika anak belajar di rumah. Dari sini, orang tua bisa menularkan kepribadian  positif  kepada anak. Lebih lanjut, orang tua hendaklah menjadi sosok yang mampu dijadikan “idola”. Hal ini menjadi penting karena orang tua akan sangat ditiru oleh anak baik dari sisi akademis maupun berperilaku. Maka, kita sering mendengar jargon “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Sabtu, 20 Oktober 2012

/20/

saudara terkadang bukan masalah alur gen dan keturunan, melainkan karena intesitas kedekatan, balas jasa, dan hutang budi

Jumat, 19 Oktober 2012

/19/
Sabtu baru saja dimulai, tepatnya 45 menit berjalan. Namun, lapar ini mulai mengikis kehangatan malam. Satu dus snack sisa selamatan kelahiran ponakan menjadi harapan terakhir lapar ini tertunda. Ya, demikianlah kiranya, mengingat di meja makan hanya tersisa sepiring bubur yang sama sekali aku tak suka.

Lalu bagaimana dengan dahaga? Aku rasa, aku tak perlu segelas air putih atau secangkir kopi hangat. Itu bukan karena aku sang ular. Tapi, semua lebih karena ini hari sabtu, hari di mana senyummu menjadi pelepas dahaga kerinduan yang satu minggu tertatahan. Bersiaplah, mulailah bersolek sejak dalam mimpimu. Dengan begitu, ketika matamu mulai terbuka dan kau sadar, kau sudah terlihat makin cantik. Begitu juga aku, aku akan mulai menyisir rambutku menjelang aku lelap. Hingga sudah dapat kupastikan, aku sudah tampan meski tak lagi tersadar.

Rabu, 17 Oktober 2012

/18/
 
Suara itu cukup keras terdengar. Ya, keras hingga dinding ketidaksadaranku pun roboh sehingga aku terbangun dr lelap. Mata sontak terbuka, menghela nafas sejenak sambil berharap nyawa ini segera berkumpul dan menyadarkanku 100%. O, ternyata suara horn masjid di sudut kampung sunyi ini. Tetapi sebentar, bukan lantunan asma Allah. Ya, suara itu bukan panggilan untuk beribadah yg dikumandangkan. Ah tidak, benar saja, itu berita salah seorang karib yg meninggal di cikarang. Rupanya dia meninggal semalam tepat ketika jarum jam menunjuk angka 7 dan 12.
/17/
Pagi ini, Kubuka perlahan tirai kamarku. Kabut mendung dan pekat malam yang masih tersisa pun menyapa. Aroma tanah basah masih sesekali terendus. O, semalam hujan rupanya. Nampaknya aku terlalu lelap dalam mimpiku.

Selimut bekas sprei yang bolong aku sibakkan. Aku pikir, ada baiknya aku segera bergegas. Ya, karena ini Rabu, hari di mana Profesor flamboyan itu siap menjejaliku dengan gugusan angka dan rumus yang sudah kupastikan tak akan lama bersemanyam di kepalaku. Bukan aku pesimis atau alergi, tetapi lebih karena itu semua dejavu bagiku.

Tepat 5 menit aku mandi, 5 menit pula aku bersolek. Setelah merasa cukup tampan, aku pun siap berangkat menikmati kuliah Profesor. Tidak lupa segelas air putih aku teguk sebagai bentuk sarapan yang menyegarkan.

Dan, 25 menit aku menembus padatnya jalan jogja yang mulai ruwet bak ibu kota. Sampai kelas juga ternyata. Benar saja, aku telat. Rupanya Profesor itu sudah mulai bekerja. Penjelasannya masih seperti dulu. Sama bahkan serupa. Bukan lagi sekadar dejavu, melainkan persis yang terulang. Namun, aku tetap menikmati, terlebih kini Profesor tampak lebih tampan. Kumis tipis nan jarang yang aku jumpai 2 tahun lalu, kini bersih. Aku pun mulai mengagumi. Ya, kagum. Profesor mampu menjelaskan deretan angka dan rumus selama 2,5 jam penuh dg baik. Sementara aku, terkadang mengajar 1,5 jam saja sudah kehabisan kosa kata. Aku ingin sepertimu Prof, setidaknya rajin dan disiplinmu yang kutiru.