Selasa, 23 April 2013

IMPLEMANTASI HONORIFIK SEBAGAI BENTUK PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

/43/


IMPLEMANTASI HONORIFIK SEBAGAI BENTUK PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
oleh: Rahmat Hidayat, S.Pd.

Karakter Ketimuran yang Mulai Luntur
Indonesia sebagai bangsa timur dikenal memiliki keramahan yang pantas dikagumi. Namun, hal itu terjadi sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Kini keramahan seolah kian memudar seiring dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi. Perkembangan zaman dan arus globalisasi mempengaruhi lunturnya kekhasan yang dahulu begitu dikagumi oleh bangsa lain tersebut. Kekhasan dan karakteristik ketimuran yang dimiliki Indonesia justru tidak mampu membuat bangsa sendiri bangga. Kini banyak anak muda yang justru seolah berkiblat pada budaya-budaya barat dan sedikit demi sedikit menanggalkan ketimurannya.
Salah satu budaya ketimuran yang mulai luntur adalah sopan santun. Meski sering disejajarkan dan dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara itu, kata santun berarti sifat halus dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya.
Nilai-nilai kesopanan anak muda di Indonesia sudah mulai luntur. Hal tersebut dapat kita jumpai dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, mengucapkan “permisi” atau yang dalam bahasa Jawa “nderek langkung” ketika lewat di depan orang yang lebih tua sudah jarang sekali kita jumpai. Anak muda sekarang seolah tidak peduli dengan norma tersebut. Mereka cenderung lewat begitu saja seolah tidak memperhatikan apa dan siapa saja yang dia jumpai. Parahnya lagi, anak muda zaman sekarang sering kali mengendarai kendaraan secara kebut-kebutan bahkan ugal-ugalan. Belum lagi penggunaan knalpot racing yang suaranya cukup mengganggu. Oleh karena itu, tidak heran rasanya apabila di daerah pemukiman marak adanya polisi tidur. Bisa jadi polisi tidur menjadi solusi “paksa” agar anak muda lebih sopan dalam berkendara.
Perilaku berkendara anak muda di atas hanya contoh kecil dari lunturnya nilai kesopanan di kalangan anak muda. Contoh lain lunturnya nilai kesopanan dapat kita lihat pada saat berkomunikasi. Mengumpat, berkata “kasar”, dan berkata “jorok” seolah menjadi lazim di kalangan anak muda. Kata-kata tersebut semestinya kurang pas untuk diucapkan. Contoh lain, semakin banyak dosen yang mengeluh karena mahasiswa bimbingannya kurang sopan dalam menyampaikan pesan via SMS. Bapak dan ibu dosen mengeluh, prihatin, bahkan sering kali merasa jengkel sehingga tidak menjawab SMS tersebut. Lalu bagaimana solusinya?

Solusi Pemerintah
Pemerintah melalui Dinas Pendidikan sebenarnya sudah berusaha memberi solusi agar kekhasan Indonesia tadi tetap terjaga. Pada tahun 2003 pemerintah mencanangkan pendidikan karakter. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Suyanto (2009) menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pengertian karakter di atas memang masih secara umum. Apabila dilihat lebih spesifik apa yang dimaksud karakter antara lain berkepribadian jujur, budi pekerti yang luhur, memiliki tenggang rasa, memiliki simpati, memiliki empati, sopan, santun, dan kepribadian mulia yang lain. Dengan demikian, amanah dari Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 yaitu membentuk anak bangsa (peserta didik) yang kompeten secara akademis dan memiliki kepribadian mulia. Oleh karena itu, diharapkan nantinya lahir para penerus bangsa yang berkualitas secara akademis dan berakhlak mulia.

Iplementasi Pendidikan Karakater pada Pembelajaran
Implementasi pendidikan karakter bermuara di tingkat sekolah. Hal tersebut karena pada masa sekolah karakter anak dapat dibina dengan maksimal. Oleh karena itu, dalam hal ini guru menjadi ujung tombak dalam implementasi pendidikan karakter anak (peserta didik). Guru bertanggung jawab atas keompetensi akademis peserta didik serta bertanggung jawab membentuk karakter peserta didik agar memiliki budi pekerti dan akhlak mulia. Pendidikan karakter dapat secara langsung diimplemntasikan guru di dalam proses belajar mengajar. Guru dapat memberi nasihat di sela-sela proses belajar maupun diintregasikan ke dalam materi. Sebagai contoh, pada materi menyimak/ membaca cerita fiksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Cerita yang dipilih sebaiknya cerita yang di dalamnya mengandung pendidikan karakter. Dengan demikian, siswa/ peserta didik belajar mengenai cerita fiksi sekaligus mendapat pemahaman tentang karakter yang baik.
Proses belajar mengajar sering kali menggunakan metode ceramah. Bahkan, bisa dikatakan hampir selalu metode ceramah ada di dalam proses belajar mengajar. Komunikasi timbal balik antara guru dan siswa yang berupa tanya jawab juga hampir selalu ada selama proses belajar mengajar. Oleh karena itu, menyisipkan pendidikan karakter dalam komunikasi selama proses belajar mengajar akan lebih efektif. Paling tidak siswa dapat belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Siswa dapat belajar dengan siapa, kapan, dan di mana dia berkomunikasi. Dengan demikian, setidaknya siswa akan belajar etika dan kesopanan dalam berkomunikasi baik dengan guru dan rekan selama proses belajar mengajar maupun dengan orang lain di lingkungan sekolah.

Implementasi Honorifik yang Terintegrasi pada Pembelajaran
Berkenaan dengan etika dan kesopanan dalam berkomunikasi, di dalam sosiolinguistik mengenal istilah honorifik. Yatim (1983: 10) menjelaskan bahwa honorifik merupakan bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan rasa hormat dalam aturan-aturan yang bersifat psikologis dan kultural. Kridalaksana (2008: 85) mendefinisikan honorik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, honorifik berkenaan dengan penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, bentuk honorifik dapat dikatakan sebagai bentuk untuk menyatakan sikap kesopanan dengan tujuan untuk menghormati lawan bicara. Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1978, melalui Oktavianus, 2006: 102) menjelaskan bahwa di dalam setiap komunikasi yang dilakukan oleh para partisipan tidak hanya sekadar menyampaikan pesan, tetapi lebih dari itu berkomunikasi adalah juga memelihara hubungan sosial timbal balik antara penutur dan mitra tutur.
Implementasi honorifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bentuk mengajarkan etika dan kesopanan dalam berkomunikasi dapat diintegrasikan ke dalam empat keterampilan berbahasa. Sebagai contoh pada kompetensi dasar berpidato, pembuka pidato lazim menggunakan “Yang terhormat Kepala sekolah, yang terhormat Bapak serta Ibu guru, dan kawan-kawan siswa-siswi SMP N 1 Yogyakarta yang saya berbahagia”. Kalimat pembuka tersebut sebenarnya memiliki bentuk honorifik. Pemilihan kata sangat diperhatikan sebagai bentuk penghormatan kepada lawan bicara yang dalam contoh tersebut penghormatan kepada Kepala sekolah, Bapak serta Ibu guru, dan kawan-kawan siswa-siswi SMP N 1 Yogyakarta.
Contoh lain implementasi honorifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bentuk mengajarkan etika dan kesopanan dalam berkomunikasi dapat diintegrasikan ke kompetensi menulis. Misalnya, siswa menulis surat resmi tentu menggunakan kalimat-kalimat dengan pilhan kata yang tepat sebagai bentuk penghormatan kepada penerima surat. Sementara itu, implementasi honorifik dalam pembelajaran menyimak dan membaca dapat diintegrasikan di dalam materi yang diberikan.
Selain mengimplementasikan honorifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia seperti penjelasan di atas, bentuk-bentuk honorifik sebaiknya digunakan selama proses balajar mengajar dan ketika berkomunikasi di lingkungan sekolah sehari-hari. Contoh implementasi tersebut adalah sebagai berikut.
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Dia pergi lima menit yang lalu.
(b) Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Berdasarkan keempat kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan istilah yang tepat dapat memberikan nuansa rasa hormat dan sopan yang lebih baik. Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama. Akan tetapi, kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.
            Penggunaan honorifik yang terintegrasi dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia seperti yang sudah dipaparkan di atas merupakan sebuah tindakan nyata untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Penggunaan honorifik yang terintegrasi dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia akan membentukan generasi bangsa yang memiliki etika dalam berkomunikasi dan baik pula dari sisi akademis. Oleh karena itu, penggunaan honorifik yang terintegrasi dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia perlu direalisasikan oleh para guru bahasa Indonsia.

REFERENSI

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.

Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.

Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter.  http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html (diunduh pada 12 April 2012 jam 14.00 WIB).

Yatim, Nurdin. 1983. Subsistem Honorifik Bahasa Makasar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian.