IMPLEMANTASI
HONORIFIK SEBAGAI BENTUK PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
INDONESIA
oleh: Rahmat Hidayat, S.Pd.
Karakter
Ketimuran yang Mulai Luntur
Indonesia sebagai
bangsa timur dikenal memiliki keramahan yang pantas dikagumi. Namun, hal itu
terjadi sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Kini keramahan seolah
kian memudar seiring dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi.
Perkembangan zaman dan arus globalisasi mempengaruhi lunturnya kekhasan yang
dahulu begitu dikagumi oleh bangsa lain tersebut. Kekhasan dan karakteristik
ketimuran yang dimiliki Indonesia justru tidak mampu membuat bangsa sendiri
bangga. Kini banyak anak muda yang justru seolah berkiblat pada budaya-budaya
barat dan sedikit demi sedikit menanggalkan ketimurannya.
Salah satu budaya
ketimuran yang mulai luntur adalah sopan santun. Meski sering disejajarkan dan
dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan
sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara
itu, kata santun berarti sifat halus
dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai
sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta
baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah
seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi
bahasa, serta baik perilakunya.
Nilai-nilai kesopanan
anak muda di Indonesia sudah mulai luntur. Hal tersebut dapat kita jumpai dan
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, mengucapkan “permisi”
atau yang dalam bahasa Jawa “nderek
langkung” ketika lewat di depan orang yang lebih tua sudah jarang sekali
kita jumpai. Anak muda sekarang seolah tidak peduli dengan norma tersebut. Mereka
cenderung lewat begitu saja seolah tidak memperhatikan apa dan siapa saja yang
dia jumpai. Parahnya lagi, anak muda zaman sekarang sering kali mengendarai
kendaraan secara kebut-kebutan bahkan ugal-ugalan. Belum lagi penggunaan knalpot racing yang suaranya cukup
mengganggu. Oleh karena itu, tidak heran rasanya apabila di daerah pemukiman
marak adanya polisi tidur. Bisa jadi polisi tidur menjadi solusi “paksa” agar
anak muda lebih sopan dalam berkendara.
Perilaku berkendara
anak muda di atas hanya contoh kecil dari lunturnya nilai kesopanan di kalangan
anak muda. Contoh lain lunturnya nilai kesopanan dapat kita lihat pada saat
berkomunikasi. Mengumpat, berkata “kasar”, dan berkata “jorok” seolah menjadi
lazim di kalangan anak muda. Kata-kata tersebut semestinya kurang pas untuk
diucapkan. Contoh lain, semakin banyak dosen yang mengeluh karena mahasiswa
bimbingannya kurang sopan dalam menyampaikan pesan via SMS. Bapak dan ibu dosen mengeluh, prihatin, bahkan sering kali
merasa jengkel sehingga tidak menjawab SMS tersebut. Lalu bagaimana solusinya?
Solusi
Pemerintah
Pemerintah melalui
Dinas Pendidikan sebenarnya sudah berusaha memberi solusi agar kekhasan
Indonesia tadi tetap terjaga. Pada tahun 2003 pemerintah mencanangkan
pendidikan karakter. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk
memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Suyanto (2009) menjelaskan
bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan
yang ia buat.
Pengertian karakter di
atas memang masih secara umum. Apabila dilihat lebih spesifik apa yang dimaksud
karakter antara lain berkepribadian jujur, budi pekerti yang luhur, memiliki
tenggang rasa, memiliki simpati, memiliki empati, sopan, santun, dan kepribadian
mulia yang lain. Dengan demikian, amanah dari Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 yaitu
membentuk anak bangsa (peserta didik) yang kompeten secara akademis dan
memiliki kepribadian mulia. Oleh karena itu, diharapkan nantinya lahir para
penerus bangsa yang berkualitas secara akademis dan berakhlak mulia.
Iplementasi
Pendidikan Karakater pada Pembelajaran
Implementasi pendidikan
karakter bermuara di tingkat sekolah. Hal tersebut karena pada masa sekolah
karakter anak dapat dibina dengan maksimal. Oleh karena itu, dalam hal ini guru
menjadi ujung tombak dalam implementasi pendidikan karakter anak (peserta
didik). Guru bertanggung jawab atas keompetensi akademis peserta didik serta
bertanggung jawab membentuk karakter peserta didik agar memiliki budi pekerti
dan akhlak mulia. Pendidikan karakter dapat secara langsung diimplemntasikan
guru di dalam proses belajar mengajar. Guru dapat memberi nasihat di sela-sela
proses belajar maupun diintregasikan ke dalam materi. Sebagai contoh, pada
materi menyimak/ membaca cerita fiksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Cerita
yang dipilih sebaiknya cerita yang di dalamnya mengandung pendidikan karakter.
Dengan demikian, siswa/ peserta didik belajar mengenai cerita fiksi sekaligus
mendapat pemahaman tentang karakter yang baik.
Proses belajar mengajar
sering kali menggunakan metode ceramah. Bahkan, bisa dikatakan hampir selalu
metode ceramah ada di dalam proses belajar mengajar. Komunikasi timbal balik
antara guru dan siswa yang berupa tanya jawab juga hampir selalu ada selama
proses belajar mengajar. Oleh karena itu, menyisipkan pendidikan karakter dalam
komunikasi selama proses belajar mengajar akan lebih efektif. Paling tidak
siswa dapat belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Siswa dapat belajar
dengan siapa, kapan, dan di mana dia berkomunikasi. Dengan demikian, setidaknya
siswa akan belajar etika dan kesopanan dalam berkomunikasi baik dengan guru dan
rekan selama proses belajar mengajar maupun dengan orang lain di lingkungan
sekolah.
Implementasi
Honorifik yang Terintegrasi pada Pembelajaran
Berkenaan dengan etika
dan kesopanan dalam berkomunikasi, di dalam sosiolinguistik mengenal istilah
honorifik. Yatim (1983: 10) menjelaskan bahwa honorifik merupakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan rasa hormat dalam aturan-aturan yang
bersifat psikologis dan kultural. Kridalaksana (2008: 85) mendefinisikan
honorik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan
penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain.
Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks
seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi. Sementara itu,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, honorifik berkenaan dengan penggunaan
ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas, bentuk honorifik dapat dikatakan sebagai bentuk untuk
menyatakan sikap kesopanan dengan tujuan untuk menghormati lawan bicara. Lebih
lanjut, Brown dan Levinson (1978, melalui Oktavianus, 2006: 102) menjelaskan
bahwa di dalam setiap komunikasi yang dilakukan oleh para partisipan tidak
hanya sekadar menyampaikan pesan, tetapi lebih dari itu berkomunikasi adalah
juga memelihara hubungan sosial timbal balik antara penutur dan mitra tutur.
Implementasi honorifik
dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bentuk mengajarkan etika dan
kesopanan dalam berkomunikasi dapat diintegrasikan ke dalam empat keterampilan
berbahasa. Sebagai contoh pada kompetensi dasar berpidato, pembuka pidato lazim
menggunakan “Yang terhormat Kepala sekolah, yang terhormat Bapak serta Ibu
guru, dan kawan-kawan siswa-siswi SMP N 1 Yogyakarta yang saya berbahagia”.
Kalimat pembuka tersebut sebenarnya memiliki bentuk honorifik. Pemilihan kata
sangat diperhatikan sebagai bentuk penghormatan kepada lawan bicara yang dalam
contoh tersebut penghormatan kepada Kepala sekolah, Bapak serta Ibu guru, dan
kawan-kawan siswa-siswi SMP N 1 Yogyakarta.
Contoh lain
implementasi honorifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bentuk
mengajarkan etika dan kesopanan dalam berkomunikasi dapat diintegrasikan ke
kompetensi menulis. Misalnya, siswa menulis surat resmi tentu menggunakan kalimat-kalimat
dengan pilhan kata yang tepat sebagai bentuk penghormatan kepada penerima surat.
Sementara itu, implementasi honorifik dalam pembelajaran menyimak dan membaca
dapat diintegrasikan di dalam materi yang diberikan.
Selain
mengimplementasikan honorifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia seperti
penjelasan di atas, bentuk-bentuk honorifik sebaiknya digunakan selama proses
balajar mengajar dan ketika berkomunikasi di lingkungan sekolah sehari-hari. Contoh
implementasi tersebut adalah sebagai berikut.
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat
dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat
kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a)
Dia pergi lima menit yang lalu.
(b)
Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat
dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat
kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Berdasarkan keempat kalimat di atas,
dapat dilihat penggunaan istilah yang tepat dapat memberikan nuansa rasa hormat
dan sopan yang lebih baik. Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama.
Akan tetapi, kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang
lain.
Penggunaan
honorifik yang terintegrasi dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia seperti
yang sudah dipaparkan di atas merupakan sebuah tindakan nyata untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Penggunaan honorifik yang terintegrasi dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesia akan membentukan generasi bangsa yang memiliki
etika dalam berkomunikasi dan baik pula dari sisi akademis. Oleh karena itu,
penggunaan honorifik yang terintegrasi dalam proses pembelajaran bahasa
Indonesia perlu direalisasikan oleh para guru bahasa Indonsia.
REFERENSI
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik
(ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
Oktavianus.
2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa.
Padang: Andalas University Press.
Suyanto.
2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html (diunduh pada
12 April 2012 jam 14.00 WIB).
Yatim,
Nurdin. 1983. Subsistem Honorifik Bahasa
Makasar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Ujung Pandang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian.