/53/
ALIH
KODE VS CAMPUR KODE
Oleh
Rahmat Hidayat, S.Pd.
A.
Alih Kode
1.
Pengertian
Alih Kode
Alih
kode atau code switching adalah
peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa
tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa
daerah. Alih kode merupakan salah satu
aspek ketergantungan bahasa (language
dependency) dalam masyarakat multilingual.Dalam masyarakat multilingual
sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih
kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing
dan masing-masing fungsi sesuai dengan
konteksnya.
Nababan
(1984: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada
waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke
ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih
rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7)
mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri
dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut
alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan
dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para
penutur.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan peran dan situasi. Alih kode
menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan
situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
2.
Jenis Alih Kode
Wardaugh
dan Hudson mengatakan, alih kode terbagi menjadi dua, yaitu alih kode metaforis
dan alih kode situasional.
a.
Alih
Kode Metaforis
Alih
kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik. Sebagai
contoh C dan D adalah teman satu kantor, awalnya mereka menggunakan ragam
bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan kantor selesai, mereka
kemudian menganti topik pembicaraan mengenai salah satu teman yang mereka
kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan
menggunakan bahasa daerah. Kebetulan C dan D tinggal di daerah yang sama dan
dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini
menjelaskan bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan.Alih kode
jenis ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya membicarakan
urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan terkesan kaku kemudian
berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika topik berganti.
b.
Alih
Kode Situasional
Alih
kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para
penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu
situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak
tejadi perubahan topik.Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari
suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi
eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Sebagai contoh ayah
sedang memarahi anaknya, ia menggunakan bahasa yang dapat dimengerti anaknya
tersebut, kemudian datang tetangga dan menanyakan apa yang terjadi. Si ayah
tidak mengganti topik pembicaraan, tetapi hanya merubah intonasi dan nada
suaranya yang semula bernada marah dan kesal menjadi tenang dan mulai
menjelaskan sebab ia memarahi anaknya tersebut.
Selain
alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi
alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a.
Alih
Kode Intern
Alih kode intern yaitu alih kode
yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa, atau sebaliknya.
b.
Alih
Kode Ekstern
Alih kode ekstern yaitu alih kode
yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal
repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.Contohnya bahasa Indonesia
ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.
B.
Campur Kode
1.
Pengertian Campur Kode
Nababan
(1984:32) mengemukakan bahwa campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa ialah bilamana orang mencampur dua (atau
lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode
penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa
tertentu. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem
operasi komputer ini sangat lambat”. Dari sini terlihat si A banyak menggunakan
kata-kata asing yang dicampurkan kedalam bahasa Indonesia. Lebih lanjut
Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi
dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan
pula alih kode, apalagi campur kode. Akan berbeda jika penutur secara sadar
atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu
bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan campur kode.Oleh karena
itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan
menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis
menggunakannya secara sadar.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak
tutur secara sadar.
C.
Persamaan
dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan
alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam
masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup
nyata, yaitu alih kode terjadi pada masing-masing bahasa yang digunakan dan
masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja,
karena sebab-sebab tertentu. Campur
kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi
dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa
tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces)
saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Jika
dalam alih kode digunakan dua bahasa otonom secara bergantian maka dalam campur
kode sebuah unsur bahasa lain hanya menyisip atau disisipkan pada sebuah bahasa
yang menjadi kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan
bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta
bahasa Indonesia kejawa-jawaan atau dalam sebuah ceramah agama, pembicara
menyisipkan unsur-unsur bahasa Arab yang memang tidak ada padanannya yang tepat
dalam bahasa Indonesia.
Dengan
kata lain, dalam campur kode, elemen yang diambil itu milik sistem yang
berbeda.
D.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik
alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun
multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima
dengan lebih efektif. Hymes
mengemukakan 16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah
istilah dalam bahasa Inggris yaitu SPEAKING (Sumarsono,
2007: 335).
S = Situasi (act situation), mencakup latar
dan suasana
P = Partisipan, mencakup penutur, pengirim,
pendengar, dan penerima.
E = End
(tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A = Act Sequence (urutan tindak), mencakup
bentuk pesan dan isi pesan
K = Key ( kunci)
I = Instrumentalities (peranti, perabotan),
mencakup saluran dan bentuk
tutur.
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi
dan norma interpretasi
G = Genre
E.
Fungsi
dan Tujuan Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode
Fungsi
bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi
bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti
perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut
fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi
komunikasi. Dalam kegiatan komunikasi
pada masyarakat multilingual alih kode dan campur kode pada umumnya dilakukan antara lain untuk
tujuan-tujuan berikut.
1.
mengakrabkan suasana
2.
menghormati lawan bicara
3.
meyakinkan topik pembicaraan
4.
untuk membangkitkan rasa humor
5.
untuk sekadar bergaya atau bergengsi
Sumber
Referensi
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina.2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.
Holmes,
Janet, 2001. An Introduction to
Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh: Person Education Limited.
Hudson, R.A. 1991. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Sosiolinguistik. Baandung : Angkasa
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda