Senin, 09 Desember 2013

/68/


Ada banyak cara untuk berbuat positif. Salah satunya dengan memungut barang bekas dari rumah warga, ditampung, dan kemudian dijual. Hasil penjualannya untuk membiayai program kerja yang lain atau digunakan untuk mendukung kegiatan kemasyarakatan yang lain. Hasilnya lumayan, sekali penjualan 300-400rb. Memang tidak seberapa, mungkin akan memperoleh hasil yang lebih besar dan cepat jika menggunakan proposal dan keliling memohon uluran tangan. Akan tetapi, itu miskin edukasi dan kurang membentuk karakter yang tangguh.

"Ngrosok" kami pilih sebagai media edukasi. Ngrosok kami anggap sebagai edukasi paling sederhana bagi adik-adik remaja bahwa mencari uang itu tidak mudah dan perlu usaha. Dengan demikian, diharapkan adik-adik remaja sadar dan lebih bisa mengerti kondisi keuangan orang tua. Tidak lagi minta uang "sak dek, sak nyet". Selain itu, tentu banyak sisi positif yang lain seperti: menumbuhkan semangat gotong royong, kegiatan ngrosok sebagai media berkumpul dan menjalin kerukunan, serta memberikan kegiatan positif bagi adik-adik untuk menghindari kegiatan negatif.

NB: Mungkin kami bukan yg pertama melakukan ini, tetapi semoga dapat menginspirasi.
/67/

Anda tidak akan pernah merasa salah mengambil jurusan jika anda memahami hal ini. Bekerja dan sukses dengan menggunakan ijazah sarjana hanyalah salah satu jalan dari berbagai alternatif jalan menuju tujuan yang sama. Oleh karena itu, sudah sepantasnya anda juga berpikir alternatif seandainya ijazah gagal mengantarkan diri anda pada kesuksesan yang anda impikan. Masih ada alternatif lain, dan tidak ada salahnya anda mulai memikirkan hal tersebut sejak sekarang.
/66/
Pengalaman vs Pemikiran

Pada awalnya bapak menolak keputusanku untuk beternak ayam dalam skala besar. Bapak lebih memilih memelihara dalam skala kecil sekadar untuk memanfaatkan sisa rumah makan. Selain itu, bapak selalu "nyacat" terhadap apa yang aku lakukan. Bapak berpendapat dengan memaparkan segala resiko dan kesulitan yang potensial aku temui. Pada intinya bapak hampir sama sekali tidak mendukung. Hal itu pula yang membuatku hampir patah semangat. Sosok yang seharusnya menjadi motivasi utamaku ternyata jauh dari ekspektasi.

Aku merasa maklum dengan berbagai argumen bapak. Mungkin juga, bapak belum sadar bahwa aku sudah dewasa dan memiliki pemikiran yang mungkin bapak sendiri tak pernah memikirkannya. Akhirnya aku memilih mohon dukungan pada ibu dan pacar. Rupanya mereka memahami jalan pikiranku. Berbekal dukungan itu pula aku terus melaju.

Pada akhirnya setelah bapak menyadari bahwa aku serius dan upayaku untuk menetaskan telur berhasil. Bapak mulai mendukung. Bahkan, bapak mulai bisa memahami jalan pikiranku.

Bagi kalian, mungkin pengalamanku ini biasa saja. Namun, ada sedikit hal penting yang mungkin bisa kalian renungkan. Pertama, sebagai orang tua, ada baiknya selalu mendukung apa yang dilakukan anaknya ketika itu dalam jalur positif. Bukan malah "nyacat". Masalah hasil akhir dan kerugian finansial, itu perkara nanti. Banyak anak yg tersesat pada lajur negatif karena dia tidak punya media yang positif untuk menuangkan pemikirannya. Dan mungkin, ketika anda sebagai orang tua menyadari bahwa anak anda terjerat kegiatan negatif, ketika itu pula kerugian yang anda dapatkan lebih besar dibanding dengan modal awal yang anda berikan untuk memfasilitasi anak anda dalam jalur positif. Pada sisi ini, aku merasa bapakku gagal memerankan fungsinya dengan baik.

Kedua, ketika anda sudah merasa dewasa, merasa bahwa anda mampu bertanggung jawab penuh atas apa yang anda lakukan, maka lakukanlah. Tunjukkan dan buktikan! Tuhan mungkin akan maklum dan tidak akan menggolongkan perlawanan terhadap orang tua ini sebagai sebuah kedurhakaan.

/65/
Kali ini saya ingin berkomentar mengenai buruh yg menuntut gaji selangit. Seperti biasa, komentar saya sangatlah subjektif. Jadi jika anda mempunyai pendapat sendiri silakan, jangan dipermasalahkan.

Kadang aku heran dg tuntutan gaji yang diajukan oleh para buruh. Mereka menuntut mendapatkan gaji tinggi. Akan tetapi, mereka pantas tidak untuk digaji tinggi?

Logikanya begini,
1. Jika ingin mendapat gaji tinggi ya jgn jd buruh. Bekerjalah pd posisi yang lebih menjanjikan.
2. Dari sudut pandang perusahaan, daripada bayar gaji buruh yg hanya lulusan SMA/SMP mahal, mending sekalian memperkerjakan pegawai lulusan sarjana yang lebih kompeten dan berkualitas. Toh UMRnya beda tipis.
3. Seharusnya mereka jg berpikir, jika memang menjadi buruh belum bisa memenuhi kebutuhan, cobalah untuk banting stir ke pekerjaan alternatif yang lain atau dg mencari pekerjaan sampingan.

Pd prinsipnya, jk sudah merasa tidak puas dengan perusahaan tempat bekerja yang skrg ya keluar saja, cari pekerjaan lain yang dianggap bisa memenuhi harapan. Berani tidak? Bisa tidak?
/64/

Selamat malam, kali ini saya menyoroti sudut pandang warga desa menjelang pemilihan kepala desa.

Ketika para pemilik suara menjatuhkan hak pilihnya pada siapa yang memberi uang, rasanya itu menjadi hal yang wajar. Logikanya sederhana,
1. Pada umumnya mereka tidak mengenal semua calon.
2. Mereka yakin bahwa ketika calon terpilih, mereka akan dilupakan.
3. Calon yang tanpa politik uang pun belum tentu kelak bersih dalam memimpin.
4. Pendekatan dg menyampaikan visi misi tidak penting, karena mereka golongan tidak berpendidikan yang lebih mengerti arti uang dibanding dg arti janji.
5. Mereka seolah trauma dg janji dan tipu muslihat pemimpin terdahulu

Pada akhirnya, "oke! aku memilih anda, tapi apa yang anda dapat berikan pada kami?"

Dan lagi, hal itu menyiratkan bahwa demokrasi di negeri ini gagal. Gagal untuk menjalankan demokrasi yang ideal.
/63/

Kawan yg super, aku kini dalam kegelisahan ...

Singkat cerita, aku memelihara ayam. Namun ternyata, beberapa di antaranya mati. Aku pun tidak memiliki surat praktik sebagai peternak. Oleh karena itu, aku sangat gelisah. Aku takut dikriminalisasi oleh ayam-ayam yang lain.

Berdasarkan analisis, ayam mati karena terserang wabah virus marek's. Aku pun berternak dengan niat memelihara ayam, bukan untuk membunuh ayam.

Aku takut ..
Aku gelisah ..
/62/

Sepotong dialong di antara riani hujan ....

"Nduk, sliramu kok yo gelem-geleme karo aku? Sliramu rak yo ngerti to nduk, nek masa depanku ki durung cetho"

"Kabeh mau mergo kula tresna mas, pancen masa depane dereng cetha, nanging usahane mas nyoto. Luwih-luwih, kula milih mas mergo sing liyane soyo ora cetho mas"

Selasa, 26 November 2013

/61/

Sedih, ketika mengoreksi hasil pekerjaan mahasiswa yg ternyata hasil pekerjaannya hanya berupa "copy paste" dari internet. Kalaupun ada hasil buah pemikirannya sendiri, hal itu tidak lebih dari 20%. Rasanya aku memang pantas bersedih, fenomena ini secara tersirat memberi gambaran bahwa apa yang sudah saya jelaskan selama ini percuma. Ya, percuma, karena hampir semua mahasiswa tidak menerapkan apa yang sudah saya jelaskan selama ini.

Minggu, 17 November 2013

/60/

Hasil analisis hari ini dapat disimpulkan bahwa akan lebih baik jika pada musim pancaroba kegiatan ternak yang dilakuakn adalah memulai proses penetasan telur. Dengan perkiraan, ketika telur menetas dan ayam berumur 1 bulan, musim pancaroba telah berakhir. Dengan demikian, resiko ayam mati karena dampak peralihan musim bisa ditekan.

Rabu, 13 November 2013

/59/

Kadang elek'e wong tuwo ki mung siji. Dewek'e rumongso wes paling bener mergo wes nglakoni urip luwih suwe. Dadi, senajan dewek'e kleru, nanging sing mbenerke kui wong sing luwih enom yo tetep wae rumongso paling bener.

Nha yen koe wes rumongso tuwo, bab iki mau dipenggalih. Ojo dadi wong tuwo sing kolot, sing isine mung "pokok'e kudu". Iyo bener pengalaman kui iso dadi ilmu, nanging ora kabeh ilmu iso diperoleh seko pengalaman.

Selasa, 11 Juni 2013

BILINGUALISE vs MULTILINGUALISME

/56/

BILINGUALISE vs MULTILINGUALISME
Oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.

A.   Bilingualisme dan Multilingualisme
Bahasa memiliki peran penting terhadap sekelompok masyarakat. Kondisi masyarakat yang majemuk mengakibatkan setiap kelompok masyarakat berbicara dengan bahasa berbeda. Banyak negara di dunia ini mengenal lebih dari dua macam bahasa. Misalnya, Perancis, India, Kanada, Nigeria, dan Indonesia. Ada banyak negara yang secara linguistik terpilah-pilah sehingga setiap anak menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan (multilingual) (Sumarsono, 2012:164).          
Sebagai contoh berikut ilustrasi yang memberikan gambaran masyarakat dwibahasawan.
Pilar adalah anak yang dilahirkan dari latar belakang orang tua bersuku Jawa. Dalam kesehariannya, bahasa Jawa digunakannya untuk berinteraksi dengan orang tua dan tetangga. Dengan demikian, ia berbahasa ibu bahasa Jawa. Ketika bersekolah ia mulai mengenal bahasa Indonesia dan sejak itu ia mulai mahir berbahasa Indonesia.

Ilustrasi tersebut terjadi dalam konteks wilayah Indonesia. Setiap anak yang bahasa pertamanya bukan bahasa Indonesia berpotensi menjadi bilingual. Terlebih di Indonesia yang memiliki sejumlah bahasa daerah tertentu menyebabkan kemungkinan besar setiap orang adalah bilingual. Hal itu sesuai dengan asumsi Edward (1994:55) bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak tahu beberapa kata dalam sebuah bahasa selain bahasa ibu.
Lalu apa bilingual itu? Berdasarkan kamus Webster (1961) bilingual didefinisikan sebagai ‘memiliki atau menggunakan dua bahasa terutama karena diucapkan dengan karakteristik penutur asli, orang yang menggunakan dua bahasa terutama karena kebiasaan dan dengan kontrol. Sementara itu, Kamal K Sridhar (melalui Sandra dan Nancy, 2009:47) mengatakan bahwa istilah bilingual dan multilingual telah digunakan secara bergantian dalam literatur untuk merujuk pada pengetahuan atau penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang individu atau komunitas.
Ada beberapa jenis masyarakat multilingual. Grosjean (melalui Sandra dan Nancy, 2009:48) menyebutkan dua jenis masyarakat multilingual, yaitu prinsip teritorial multilingualisme dan prinsip personalitas. Prinsip teritorial multilingualisme mengacu pada keseluruhan bangsa adalah multibahasa tetapi tidak semua individu multibahasa. Sementara prinsip personalitas menyatakan bahwa bilingualisme adalah kebijakan negara dan sebagian besar individu adalah multibahasa.

B.   Alasan Lahirnya Multilingualisme
Bagaimana sebuah masyarakat dapat menjadi multilingual? Tentu saja ada beberapa faktor yang mendasarinya. Faktor yang paling jelas menyebabkan multilingualisme masyarakat adalah migrasi (Sidhar melalui Sandra dan Nancy (2009:48). Ketika penutur bahasa menetap selama bertahun-tahun di daerah tempat bahasa lain digunakan dan terus mempertahankan bahasa mereka sendiri maka penutur tersebut menjadi multilingual.
Penyebab lain multilingualisme masyarakat adalah kontak budaya. Ketika masyarakat mengimpor dan mengasimilasi lembaga kebudayaan masyarakat lain selama bertahun-tahun, mungkin multilingualisme pun terwujud. Alasan ketiga menurut Sidhar melalui Sandra dan Nancy (2009:48) adalah aneksasi dan kolonialisme. Di samping itu, ada pula alasan lain seperti ketergantungan komersial, ilmu pengetahuan, dan teknologi dari penutur bahasa tertentu ke penutur bahasa lain.

SUMBER REFERENSI

Edward, John. 2003. Multilingualism. London: Routledge

Mckay, Sandra Lee dan Nancy H Hornberger. 2009. Sociolinguistics and Language Teaching. London: Cambridge University Press.

Mckay, Sandra Lee dan Nancy H Hornberger. 2010. Sociolinguistic and Language Education. London: Cambridge University Press.

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

KETERKAITAN ETNISITAS DAN JARINGAN SOSIAL DENGAN BAHASA

/55/

KETERKAITAN ETNISITAS DAN JARINGAN SOSIAL DENGAN BAHASA
Oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.

A.Hakikat Etnisitas
Waters (1990) mengungkapkan bahwa pada umumnya orang menghubungkan etnisitas dengan perbedaan berdasarkan asal negara, bahasa, agama, makanan dan penanda budaya lainnya, dan hubungan ras untuk pembedaan  berdasar penampilan fisik. Dapat dikatakan bahwa etnis merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan karakteristik budaya, bahasa, dan penampilan fisik tetapi memiliki perbedaan identitas dengan sekelompok orang yang lain.
Thomas dan Wareing (2007:136) menyebutkan dua konsep yang banyak digunakan dalam pembahasan kelompok etnis yakni “etnis mayoritas” dan “etnis minoritas”. Etnis mayoritas adalah kelompok budaya yang berperan dominan dalam mempengaruhi infrastruktur-infrastruktur dalam sebuah negara. Dengan kata lain, kelompok ini adalah pemegang kekuasaan sosial dan politik. Sementara itu, etnis minoritas mengacu pada kelompok etnis yang kekuasaan sosial dan politiknya kecil atau tidak ada sama sekali.
Thomas dan Wareing (2007:137) menegaskan bahwa keyakinan-keyakinan yang dibentuk oleh etnis mayoritas dianggap sebagai sesuatu yang normal/wajar. Di lain sisi, segala sesuatu yang berbeda dari etnis mayoritas akan dianggap atipikal/ tidak wajar atau nyeleneh. Hal itu pun tampak pada penggunaan bahasa etnis mayoritas dan minoritas. Etnis mayoritas sering menggunakan bahasa yang menekankan sifat “beda” dari etnis minoritas. Akan tetapi, etnis minoritas pun dapat membedakan diri mereka dari etnis mayoritas dalam hal penggunaan bahasa (Thomas dan Wareing, 2007:152).
Ketika orang termasuk dalam kelompok yang sama, mereka sering berbicara dengan bahasa sama. Namun ada banyak kelompok berbeda dalam sebuah komunitas, sehingga setiap individu dapat berbagi fitur linguistik dengan berbagai pembicara lain. Beberapa fitur linguistik tersebut mengindikasikan status sosial seseorang. Ada juga petunjuk untuk penanda etnis seseorang. Setiap individu memanfaatkan semua sumber daya ini ketika mereka sedang membangun identitas sosialnya (Holmes, 2001:175).

B. Penggunaan Bahasa Sebagai Penanda Identitas Etnis
Etnis minoritas di suatu negara selalu berusaha untuk membedakan diri mereka dari etnis mayoritas. Contohnya, etnis minoritas tetap menggunakan bahasa asli mereka yang berbeda dengan bahasa resmi yang digunakan etnis mayoritas. Tentu saja, etnis mayoritas ada yang tidak setuju sehingga muncullah label negatif tentang penggunaan bahasa minoritas. Berikut ini akan dipaparkan status bahasa Afrika Amerika Vernakular Inggris atau bahasa Ebonik (bahasa khas kulit hitam) di Amerika dan British Black English di negara Inggris.
1.      Amerika Afrika Vernakular Inggris
Dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan karya Thomas dan Wareing (2007:152) dijelaskan bahwa pada tahun 1990 ada kira-kira 30 juta orang Afro-Amerika di AS (sekitar 12% dari total populasi). Sebanyak 80-90 persen kalangan Afro-Amerika ini diperkirakan menggunakan jenis bahasa Ebonics (dari kata “ebony” yang berarti “hitam” dan “phonics” yang berarti suara. Selain itu, Ebonics juga dikenal sebagai African American Vernacular English (AAVE, bahasa sehari-hari (vernakular) dari kalangan Afro-Amerika).
Dialek AAVE ini memiliki sejumlah fitur yang tidak terjadi dalam standar utama Amerika Inggris, dan lain-lain yang terjadi sangat jauh lebih sering dalam variasi standar. Tindakan linguistik berbeda ini sebagai simbol etnisitas (Holmes, 2001:177). Mereka mengekspresikan banyak rasa kekhasan budaya Afrika Amerika.
Ada banyak kalangan masyarakat Eropa-Amerika dan bahkan kalangan Afro-Amerika yang menganggap bahasa Ebonik bukanlah bahasa yang normal/wajar. Penyebabnya adalah ebonik sebagai varian dari bahasa Inggris memiliki perbedaan dengan bahasa Inggris standar di Amerika. Bahkan banyak yang memandang bahasa Ebonik/AAVE ini sebagai bahasa Inggris yang “rusak” atau penuturnya dianggap “bodoh, tidak berpendidikan.”
AAVE terdengar terutama di kota-kota utara di Amerika Serikat. Salah satu fitur yang paling khas adalah tidak lengkapnya kata kerja kopula be dalam beberapa konteks sosial dan linguistik. Dalam kebanyakan konteks tuturan, pembicara bahasa Inggris standar menggunakan bentuk kata kerja be dipersingkat atau dikurangi. Dengan kata lain, orang tidak biasa mengatakan She is very nice tetapi She’s very nice. Mereka mengurangi atau menyingkat is to s.

African American Vernacular English
American Standard English
She very nice
He a teacher
That my book
The beer warm
She’s very nice
He’s a teacher
That’s my book
The beer’s warm

Secara jelas dapat disimpulkan bahwa tata bahasa AAVE memiliki beberapa fitur yang tidak terjadi dalam tata bahasa orang Amerika putih. Namun, ada banyak fitur bahasa Inggris yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial ekonomi rendah di Amerika Serikat yang juga terjadi pada AAVE. Pada umumnya pembicara AAVE hanya menggunakan fitur ini lebih sering daripada orang Amerika putih (Thomas dan Wareing,2007:158).

2.      British Black English
Di Inggris, cara etnis minoritas yang berbeda dalam berbicara bahasa Inggris sering sekali memiliki kekhasan sama. Bahasa Inggris etnis yang berbicara bahasa minoritas seperti Gujarat, Punjabi, dan Turki pada umumnya memberi sinyal latar belakang etnisnya. Dan orang-orang India atau Afrika asal Karabia menggunakan batasan varietas, tergantung pada tempat mereka tinggal di Inggris dan berapa lama keluarga mereka telah tinggal di Inggris. Mereka yang lahir di Inggris Raya biasanya digambarkan sebagai anggota kelompok masyarakat kulit hitam Inggris dan sebagian besar berbicara variasi bahasa kreol Jamaika sama baiknya dengan variasi bahasa Inggris.
            Variasi bahasa Kreol Jamaika yang digunakan oleh orang kulit hitam Inggris dikenal sebagai Patois. Orang Jamaika di London, misalnya adalah variasi London Patois. Variasi tersebut berasal dari bahasa Kreol Jamaika, tetapi memiliki sejumlah fitur yang membedakannya dari variasi Jamaika.
Contoh:
Polly adalah seorang remaja kulit hitam Inggris yang tinggal di Midlands Barat. Orang tuanya datang ke Inggris dari Jamaika pada tahun 1963 untuk mencari pekerjaan. Meskipun Ibu Polly memiliki pendidikan baik di Jamaika, satu-satunya pekerjaan yang mampu ia temukan di Dudley adalah membersihkan kantor pada malam hari. Ayah Polly bekerja di pabrik tetapi sekarang dia dipecat dan telah menganggur selama hamper dua tahun. Mereka tinggal di lingkungan yang didominasi orang hitam dan hampir semua teman Polly adalah orang kulit hitam muda. Polly dan orang tuanya mendatangi gereja Pentekostal lokal. Kakaknya juga menghadirinya, tapi ia telah berhenti sejak ia keluar sekolah

C.  Jaringan sosial
Jaringan dalam sosiolinguistik mengacu pada pola hubungan informal orang yang terlibat secara teratur (Holmes, 2000:184). Ada dua istilah yang telah terbukti sangat berguna untuk menggambarkan berbagai jenis jaringan – kepadatan dan kompleksitas. Kepadatan mengacu pada apakah anggota jaringan seseorang berhubungan satu sama lain. Apakah teman-teman Anda mengenal satu sama lain secara independen? Jika demikian jaringan Anda memenuhi kepadatan. Hubungan mengenal dan berinteraksi secara teratur dengan sesama teman Tom, sama baiknya dengannya. Jelas bahwa Tom milik jaringan padat. Berikut ini ilustrasi tentang jaringan sosial yang dimiliki oleh Tom.
Contoh:
Tom tinggal di Ballymacarrett, daerah timur protestan dari Lagan sungai di Belfast. Dia berumur 18 tahun dan bekerja sebagai pekerja magang di galangan kapal. Dia mendapatkan pekerjaan melalui Paman Bob dan Ia memiliki sepupu Mike yang bekerja di tempat sama. Ia dan Mike tinggal di jalan yang sama dan hampir setiap malam mereka minum bir bersama-sama setelah bekerja. Mereka juga menjalankan disko dengan dua temannya, Jo dan Gerry, dan itu berarti bahwa beberapa malam dalam seminggu mereka melakukan perjalanan melintasi kota untuk tampil di tempat yang berbeda.

Cara Tom dan sepupunya berbicara merefleksikan fakta bahwa mereka milik sebuah komunitas pekerja kecil yang hubungannya erat. Laki-laki yang bekerja dengannya dan campur dengan pekerjaan di luar hubungan dan juga tetangga, mereka semua berbicara sama. Pola yang dicatat pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagai anggota dari kelas pekerja, mereka akan cenderung menggunakan bentuk yang lebih vernankular disbanding kelompok sosial lainnya. Tom dan temannya menggunakan sejumlah besar bentuk tuturan vernankular.
Mereka sering menghapus th [   ] pada mother dan brother, dan mengucapkan man dengan [mo:n], dan map dengan [ma:p]. Sebaliknya orang-orang dalam komunitas Tom yang tidak memiliki bagian lebih dalam kekerabatan, tetangga dan jaringan kerja-yang lebih marginal- cenderung berbicara kurang ‘luas’. Misalnya, Sandy, seorang laki-laki yang hidup di tepi Ballymacarret bekerja sebagai pegawai negeri. Dia datang dari Irlandia Selatan dan tidak memiliki keluarga di Belfast. Ia melihat orang seperti Tom hanya sesekali di pub. Dia tidak benar-benar bagian erat dari para lelaki Ballymacarret dan tuturannya mengungkapkan hal ini. Ia menggunakan bentuk vernankular jauh lebih sedikit daripada Tom dan Mike.
Plexity adalah ukuran dari berbagai jenis orang yang terlibat dalam transaksi dengan individu yang berbeda. Hubungan uniplex adalah salah satu tempat link dengan orang lain dalam satu bidang. Anda dapat dikaitkan dengan orang lain misalnya hanya karena Anda bekerja bersama, mungkin Anda bermain badminton bersama dan tidak pernah bertemu dalam konteks lain. Jika sebagian besar transaksi dalam komunitas adalah dari jenis jaringan ini, akan ditandai sebagai uniplex. Hubungan multiplex sebaliknya, melibatkan interaksi dengan lainnya sepanjang beberapa dimensi. Jika sebagian besar transaksi dalam komunitas seperti itu, jaringan akan dianggap multiplex. Jaringan Tom adalah multiplex karena orang-orang yang bekerja dengannya, juga merupakan teman di pub, relasi, dan tetangga.
Tidak mengherankan bahwa tuturan orang harus mencerminkan jenis jaringan yang dimiliki. Orang yang berinteraksi dengan kita adalah salah satu pengaruh penting pada tuturan. Ketika ada orang yang bergaul dengan kita secara teratur memiliki kelompok homogen, biasanya kita akan berbicara sama dengan kelompok tersebut. Siapa yang berbicara dengan kita dan yang mendengarkan secara teratur adalah pengaruh penting pada cara kita berbicara.

SUMBER REFERENSI
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Pearson.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

APA YANG DIMAKSUD INTEGRASI BAHASA, PIDGIN, KREOL, DAN DIGLOSIA?

/54/

APA YANG DIMAKSUD INTEGRASI BAHASA, PIDGIN, KREOL, DAN DIGLOSIA?
Oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.
A.           Integrasi Bahasa
Mackey (dalam Abdul Chaer:128) mendefinisikan integrasi sebagai unsur-unsur lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut (tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan). Pengintegrasian bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia bisa melalui proses penerimaan ataupun proses penyerapan. 
Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama. Proses integrasi ini biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan kata yang ada di dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun tidak diketahui. Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari bahasa lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum atau bisa diterima, dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka barulah bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang dimasukinya.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata dalam bahasa Indonesia lebih banyak terjadi melalui proses mendengar atau audial. Apa yang didengar maka itulah yang akan diujarkan atau dituliskan sehingga seringkali menimbulkan ketidakteraturan. Contohnya kata horloge menjadi arloji, dan kata appel menjadi apel, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika dilihat dari konteks penyerapan bahasa maka proses pengintegrasian bahasa menurut Abdul Chaer dan Leoni Agustina (2010: 129) bisa melalui dua proses, yakni:
1.                  penerjemahan langsung, maksudnya kosakata tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya airport menjadi bandar udara, joint venture menjadi usaha patungan, balance budget menjadi anggaran berimbang, dan lain sebagainya.
2.                  penerjemahan konsep, maksudnya konsep bahasa asing tersebut diteliti dengan seksama kemudian dicarikan padanan konsepnya yang paling dekat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, begroting post menjadi mata anggaran, network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar laki-laki, dan lain sebagainya.

B.       Pidgin

Pidgin dan kreol tidak dianggap sebagai suatu bahasa  utuh yang ‘pantas’ , dianggap tidak memiliki tata bahasa dan struktur, hanyalah merupakan sebuah penyimpangan individual oleh para penutur yang tidak memiliki gengsi. Kasarnya, bahasa pidgin umumnya diartikan sebagai simplifikasi bahasa dimana kosakatanya kebanyakan berasal dari bahasa lain, tetapi tatabahasanya sangat  berbeda. Pidgin dibentuk ketika para penutur oleh sebuah bahasa melakukan hubungan dagang dengan penutur bahasa lain, atau bekerja pada perkebunan yang diurus oleh penutur bahasa lain dan tidak mengerti bahasa lawan tuturnya.
Pidgin merupakan sebuah bahasa yang tidak memiliki  penutur asli (native speaker). Pidgin berkembang sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang tidak memiliki bahasa yang sama. Pada awalnya pidgin berkembang dalam fungsi yang sempit. Mereka yang menggunakan pidgin juga memiliki bahasa lainnya juga, jadi pidgin merupakan bahasa tambahan yang digunakan untuk tujuan tertentu seperti dalam perdagangan atau administrasi. Pidgin digunakan lebih sebagai fungsi referensial dibandingkan fungsi afektif. Digunakan sebagai fungsi spesifik seperti untuk membeli dan menjual padi atau kulit hewan, daripada untuk mengisyaratkan perbedaan sosial atau ungkapan kesopanan. Hasilnya, struktur pidgin biasanya tidak serumit yang dibutuhkan untuk mengungkapkan fungsinya. Tidak ada satupun yang menggunakan pidgin sebagai alat identifikasi grup atau untuk mengungkapkan jarak sosial. Jadi, tidak ada tuntutan untuk menjaga ciri-ciri berlebih referensial sebuah bahasa atau pengucapan yang rumit. Yang tujuannya untuk mengisyaratkan seberapa berpendidikannyanya seseorang.
Pidgin diciptakan dari usaha orang-orang yang memiliki bahasa yang berbeda. Hal itu karena pidgin berkembang untuk melayani fungsi jangkauan yang sangat sempit dalam domain yang terbatas, maka pengguna bahasa pidgin ini cenderung untuk menyederhanakan struktur dan menggunkaan kosakata yang sedikit. Kata-katanya umumnya tidak memiliki infleksi (perubahan pada grammar atau ucapan) untuk menandai. Contohnya dalam bahasa Inggris, kata jamak atau waktu (tenses) kata kerja tidak digunakan.
Penyederhanaan bahasa pidgin terlihat sekali pada aspek tatabahasa dan pelafalannya. Pidgin tidak memiliki gender tatabahasa pada sistem kata benda dan tidak memiliki akhir persetujuan kata benda-kata kerja. Waktu dan aspek diungkapkan dengan kata-kata yang terpisah daripada dengan akhiran. Pelafalan cenderung pada pola konsonan diikuti oleh vowel dan cluster (kelompok) lebih dari satu konsonan cenderung dihindari. Pidgin cenderung untuk mengurangi isyarat grammar. Hal ini memudahkan pembicaranya untuk belajar dan menggunakannya, walaupun hal ini memberi ‘beban lebih’ pada pendengarnya.  Pidgin bukanlah bahasa para kelas atas atau  bahasa yang bergengsi, dan bagi mereka yang tidak menggunakannya, bahasa ini terdengar menggelikan. Contohnya bahasa Tok Pisin (pidgin talk), sebuah pidgin Melanesia Inggris dari Papua New Guinea) dibawah ini:
moustache (kumis) = grass belong mouth (rumput bibir)
Ada 3 ciri-ciri bahasa pidgin :
1.      digunakan dalam fungsi dan domain yang terbatas
2.      memiliki struktur yang sederhana dibandingkan dengan bahasa sumbernya.
3.      Memiliki gengsi rendah dan menarik sikap negatif—khususnya dari orang luar.

C.      Kreol
Kreol adalah pidgin yang membutuhkan penutur asli (native-speaker). Banyak dari pidgin ini yang kemudian menjadi kreol. Bahasa ini digunakan oleh anak-anak sebagai bahasa pertama mereka dan digunakan dalam jangkauan domain yang luas. Salah satu contohnya adalah Tok Pisin  yang telah digunakan sebagai bahasa pertama oleh sejumlah besar penutur dan telah berkembang sesuai dengan kebutuhan linguistik. Selain berkembang sebagai bahasa pertama, kreol juga berbeda dari pidgin dari segi fungsi dan strukturnya.
Kreol merupakan pidgin yang telah mengalami perluasan dalam segi struktur dan kosakatanya untuk mengungkapkan makna atau fungsi yang serupa yang diperlukan oleh sebuah bahasa pertama. Kreol  muncul ketika bahasa pidgin menjadi bahasa ibu dari sebuah generaasi baru anak-anak. Misalnya ketika seorang pria dan seorang wanita yang memiliki bahasa yang berbeda menikah, keduanya tahu bahasa pidgin dan belajar bahasa pasangannya. Pidgin kemudian menjadi bahasa rumah yang digunakan bersama dan menjadi  bahasa ibu anak-anak mereka. Seting ini terjadi ketika masa bleakest (suram) perbudakan di hemisfer Barat, ketika berusaha memisahkan para budak Afrika yang memiliki bahasa asli yang sama untuk mencegah pemberontakan. Hanya ada bahasa pidgin yang tersedia sebagai bahasa umum dan bahasa ini menjadi bahasa ibu bagi para generasi baru. Contoh pidgin yang terkenal yang menjadi kreol adalah Hawaiian pidgin dan Tok Pisin (‘Talk Pidgin’) Papua New Guinea.

Dalam teori klasik kreol, kreol adalah sebuah bahasa pidgin yang diperoleh oleh penutur asli (dari keturunan penutur pidgin). Dewasa ini, muncul perdebatan ilmiah tentang hubungan pidgin yang menjadi kreol dan asalnya. Namun, para ilmuwan sepakat bahwa sebagai  bahasa ibu, kreol telah meluas pada tata bahasa dan lexikon yang dibutuhkan oleh mereka dan kreol  menjadi bahasa penuh yang reguler. Namun, karena kreol berdampingan dengan dasar-lexikon sebagai sebagai bahasa standar, resmi, seperti bahasa standar Prancis di Haiti, bahasa standar English di Jamaika, sikap bahasa terhadap kreol menjadi begitu kompleks. Walaupun merupakan bahasa rumah, intimasi dan solidaritas, bahasa kreol tidak mendapatkan ‘rasa hormat’, memiliki status sosial rendah, tak diindahkan dan seringnya keberadaannya disangkal oleh penuturnya itu sendiri.

D.      Diglosia
            Istilah diglosia pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris oleh Charles Ferguson in 1959 (bahasa prancisnya diglossie, yang mana mengisnpirasi  pembuatan uang logam Ferguson , awalnya digunakan oleh seorang linguis Prancis, Marcais). Artikel Ferguson sekarang dianggap sebagai  referensi klasik diglosia. Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan situasi komunikasi dalam masyarakat yang membuat penggunaan pelengkap pada pertukaran sehari-hari dari dua kode yang berbeda, baik dua variasi bahasa yang berbeda ataupun dua bahasa. situasi tertentu mengisyaratkan penggunaan salah satu kode tersebut, bahasa A pada pelarangan bahasa yang lain, bahasa B, yang mana hanya dapat digunakan dalam situasi dimana bahasa pertama dilarang. Namun demikian, definisi ini meliputi banyak variasi. Walaupun ada situasi diglosia dalam sebuah mayoritas masyarakat, contohnya di Inggris Raya, ada sebuah perbedaan antara bahasa Inggris yang digunakan antara teman atau ketika berbelanja dan yang digunakan di universitas atau konferensi-konferensi publik.
Perlu ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/ patois, Katharevusa/Demotic di Yunani dan Prancis/ kreol di mayoritas area pembicaraan kreol Prancis). Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa dimana satu dari bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’ bertentangan dengan yang lain yang dianggap ‘rendah’ yang mana yang pertama digunakan dalam situasi komunikasi  yang dianggap ‘ningrat’ (menulis, penggunaan formal, dll) dan yang berikutnya digunakan dalam keadaan yang lebih informal (percakapan dengan keluarga dekat dll).
Penggunaan ragam tinggi dapat ditemukan pada acara-acara seperti pidato kepresidenan, khotbah, kuliah, atau ceramah. Selain itu ragam tinggi juga bisa ditemukan dari beberapa media seperti televisi, radio, koran majalah dan lain-lain. Acara-acara yang dimaksud contohnya dapat disaksiakan atau ditemukan langsung pada saat siaran berita atau debat ilmiah, tajuk rencana dan artikel di surat kabar. Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi diglosia menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain partisipan, suasana, dan topik.

ALIH KODE VS CAMPUR KODE

/53/

ALIH KODE VS CAMPUR KODE
Oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.

A.      Alih Kode
1.        Pengertian Alih Kode
Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah.  Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual.Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan  masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Nababan (1984: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan  peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

2.        Jenis Alih Kode
Wardaugh dan Hudson mengatakan, alih kode terbagi menjadi dua, yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.
a.        Alih Kode Metaforis
Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik. Sebagai contoh C dan D adalah teman satu kantor, awalnya mereka menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah. Kebetulan C dan D tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan.Alih kode jenis ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika topik berganti.

b.        Alih Kode Situasional
Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik.Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Sebagai contoh ayah sedang memarahi anaknya, ia menggunakan bahasa yang dapat dimengerti anaknya tersebut, kemudian datang tetangga dan menanyakan apa yang terjadi. Si ayah tidak mengganti topik pembicaraan, tetapi hanya merubah intonasi dan nada suaranya yang semula bernada marah dan kesal menjadi tenang dan mulai menjelaskan sebab ia memarahi anaknya tersebut.
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a.        Alih Kode Intern
Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.
b.        Alih Kode Ekstern
Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.

B.       Campur Kode
1.        Pengertian Campur Kode
Nababan (1984:32) mengemukakan bahwa campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa  ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”. Dari sini terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan kedalam bahasa Indonesia. Lebih lanjut Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan campur kode.Oleh karena itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

C.       Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi pada masing-masing bahasa yang digunakan dan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu. Campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Jika dalam alih kode digunakan dua bahasa otonom secara bergantian maka dalam campur kode sebuah unsur bahasa lain hanya menyisip atau disisipkan pada sebuah bahasa yang menjadi kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan atau dalam sebuah ceramah agama, pembicara menyisipkan unsur-unsur bahasa Arab yang memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, dalam campur kode, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda.

D.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif. Hymes mengemukakan 16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam bahasa Inggris yaitu SPEAKING (Sumarsono, 2007: 335).
S    = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P    = Partisipan, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima.
E    = End  (tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A  = Act Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K   = Key ( kunci)
I    = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk
tutur.
N   = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G   = Genre

E.       Fungsi dan Tujuan Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode
Fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur  didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi komunikasi. Dalam kegiatan  komunikasi pada masyarakat multilingual alih kode dan campur kode  pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan-tujuan  berikut.
1.        mengakrabkan suasana
2.        menghormati lawan bicara
3.        meyakinkan topik pembicaraan
4.        untuk membangkitkan rasa humor
5.        untuk sekadar bergaya atau bergengsi

Sumber Referensi
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.

Holmes, Janet, 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh: Person Education Limited.

Hudson, R.A. 1991. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Sosiolinguistik. Baandung : Angkasa

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:  Gramedia.

Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda