APA YANG DIMAKSUD
INTEGRASI BAHASA, PIDGIN, KREOL, DAN DIGLOSIA?
Oleh Rahmat Hidayat,
S.Pd.
A.
Integrasi
Bahasa
Mackey (dalam
Abdul Chaer:128) mendefinisikan integrasi sebagai unsur-unsur lain yang
digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa
tersebut (tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan).
Pengintegrasian bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia bisa melalui proses
penerimaan ataupun proses penyerapan.
Penerimaan unsur
bahasa lain dalam bahasa tertentu membutuhkan waktu dan tahap yang cukup lama.
Proses integrasi ini biasanya diawali ketika suatu bahasa tidak memiliki padanan
kata yang ada di dalam bahasa lain tersebut atau bisa saja ada padanannya namun
tidak diketahui. Keadaan itu akan berdampak pada proses peminjaman bahasa dari
bahasa lain/bahasa asing. Apabila unsur pinjaman tersebut sudah bersifat umum
atau bisa diterima, dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat maka
barulah bahasa tersebut bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan bahasa yang
dimasukinya.
Proses
penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata dalam bahasa Indonesia
lebih banyak terjadi melalui proses mendengar atau audial. Apa yang didengar maka itulah yang akan diujarkan atau
dituliskan sehingga seringkali menimbulkan ketidakteraturan. Contohnya kata horloge menjadi arloji, dan kata appel menjadi apel, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, jika dilihat dari konteks penyerapan bahasa maka proses
pengintegrasian bahasa menurut Abdul Chaer dan Leoni Agustina (2010: 129) bisa
melalui dua proses, yakni:
1.
penerjemahan langsung,
maksudnya kosakata tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Misalnya airport menjadi bandar
udara, joint venture menjadi usaha
patungan, balance budget menjadi
anggaran berimbang, dan lain sebagainya.
2.
penerjemahan konsep,
maksudnya konsep bahasa asing tersebut diteliti dengan seksama kemudian
dicarikan padanan konsepnya yang paling dekat dalam bahasa Indonesia. Misalnya,
begroting post menjadi mata anggaran,
network menjadi jaringan, brother in
law menjadi ipar laki-laki, dan lain sebagainya.
B.
Pidgin
Pidgin
dan kreol tidak dianggap sebagai suatu bahasa
utuh yang ‘pantas’ , dianggap tidak memiliki tata bahasa dan struktur,
hanyalah merupakan sebuah penyimpangan individual oleh para penutur yang tidak
memiliki gengsi. Kasarnya, bahasa pidgin umumnya diartikan sebagai simplifikasi
bahasa dimana kosakatanya kebanyakan berasal dari bahasa lain, tetapi
tatabahasanya sangat berbeda. Pidgin
dibentuk ketika para penutur oleh sebuah bahasa melakukan hubungan dagang
dengan penutur bahasa lain, atau bekerja pada perkebunan yang diurus oleh
penutur bahasa lain dan tidak mengerti bahasa lawan tuturnya.
Pidgin
merupakan sebuah bahasa yang tidak memiliki
penutur asli (native speaker).
Pidgin berkembang sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang tidak
memiliki bahasa yang sama. Pada awalnya pidgin berkembang dalam fungsi yang
sempit. Mereka yang menggunakan pidgin juga memiliki bahasa lainnya juga, jadi
pidgin merupakan bahasa tambahan yang digunakan untuk tujuan tertentu seperti
dalam perdagangan atau administrasi. Pidgin digunakan lebih sebagai fungsi
referensial dibandingkan fungsi afektif. Digunakan sebagai fungsi spesifik
seperti untuk membeli dan menjual padi atau kulit hewan, daripada untuk
mengisyaratkan perbedaan sosial atau ungkapan kesopanan. Hasilnya, struktur
pidgin biasanya tidak serumit yang dibutuhkan untuk mengungkapkan fungsinya.
Tidak ada satupun yang menggunakan pidgin sebagai alat identifikasi grup atau
untuk mengungkapkan jarak sosial. Jadi, tidak ada tuntutan untuk menjaga
ciri-ciri berlebih referensial sebuah bahasa atau pengucapan yang rumit. Yang tujuannya
untuk mengisyaratkan seberapa berpendidikannyanya seseorang.
Pidgin
diciptakan dari usaha orang-orang yang memiliki bahasa yang berbeda. Hal itu karena
pidgin berkembang untuk melayani fungsi jangkauan yang sangat sempit dalam
domain yang terbatas, maka pengguna bahasa pidgin ini cenderung untuk
menyederhanakan struktur dan menggunkaan kosakata yang sedikit. Kata-katanya
umumnya tidak memiliki infleksi (perubahan pada grammar atau ucapan) untuk
menandai. Contohnya dalam bahasa Inggris, kata jamak atau waktu (tenses) kata
kerja tidak digunakan.
Penyederhanaan
bahasa pidgin terlihat sekali pada aspek tatabahasa dan pelafalannya. Pidgin
tidak memiliki gender tatabahasa pada sistem kata benda dan tidak memiliki
akhir persetujuan kata benda-kata kerja. Waktu dan aspek diungkapkan dengan
kata-kata yang terpisah daripada dengan akhiran. Pelafalan cenderung pada pola
konsonan diikuti oleh vowel dan cluster (kelompok) lebih dari satu konsonan
cenderung dihindari. Pidgin cenderung untuk mengurangi isyarat grammar. Hal ini
memudahkan pembicaranya untuk belajar dan menggunakannya, walaupun hal ini
memberi ‘beban lebih’ pada pendengarnya.
Pidgin bukanlah bahasa para kelas atas atau bahasa yang bergengsi, dan bagi mereka yang
tidak menggunakannya, bahasa ini terdengar menggelikan. Contohnya bahasa Tok
Pisin (pidgin talk), sebuah pidgin Melanesia Inggris dari Papua New Guinea)
dibawah ini:
moustache (kumis) = grass
belong mouth (rumput bibir)
Ada
3 ciri-ciri bahasa pidgin :
1. digunakan
dalam fungsi dan domain yang terbatas
2. memiliki
struktur yang sederhana dibandingkan dengan bahasa sumbernya.
3. Memiliki
gengsi rendah dan menarik sikap negatif—khususnya dari orang luar.
C.
Kreol
Kreol
adalah pidgin yang membutuhkan penutur asli (native-speaker). Banyak dari pidgin ini yang kemudian menjadi
kreol. Bahasa ini digunakan oleh anak-anak sebagai bahasa pertama mereka dan
digunakan dalam jangkauan domain yang luas. Salah satu contohnya adalah Tok
Pisin yang telah digunakan sebagai
bahasa pertama oleh sejumlah besar penutur dan telah berkembang sesuai dengan
kebutuhan linguistik. Selain berkembang sebagai bahasa pertama, kreol juga
berbeda dari pidgin dari segi fungsi dan strukturnya.
Kreol
merupakan pidgin yang telah mengalami perluasan dalam segi struktur dan
kosakatanya untuk mengungkapkan makna atau fungsi yang serupa yang diperlukan
oleh sebuah bahasa pertama. Kreol muncul
ketika bahasa pidgin menjadi bahasa ibu dari sebuah generaasi baru anak-anak.
Misalnya ketika seorang pria dan seorang wanita yang memiliki bahasa yang berbeda
menikah, keduanya tahu bahasa pidgin dan belajar bahasa pasangannya. Pidgin
kemudian menjadi bahasa rumah yang digunakan bersama dan menjadi bahasa ibu anak-anak mereka. Seting ini
terjadi ketika masa bleakest (suram) perbudakan di hemisfer Barat, ketika
berusaha memisahkan para budak Afrika yang memiliki bahasa asli yang sama untuk
mencegah pemberontakan. Hanya ada bahasa pidgin yang tersedia sebagai bahasa
umum dan bahasa ini menjadi bahasa ibu bagi para generasi baru. Contoh pidgin
yang terkenal yang menjadi kreol adalah Hawaiian pidgin dan Tok Pisin (‘Talk
Pidgin’) Papua New Guinea.
Dalam
teori klasik kreol, kreol adalah sebuah bahasa pidgin yang diperoleh oleh
penutur asli (dari keturunan penutur pidgin). Dewasa ini, muncul perdebatan
ilmiah tentang hubungan pidgin yang menjadi kreol dan asalnya. Namun, para
ilmuwan sepakat bahwa sebagai bahasa
ibu, kreol telah meluas pada tata bahasa dan lexikon yang dibutuhkan oleh
mereka dan kreol menjadi bahasa penuh
yang reguler. Namun, karena kreol berdampingan dengan dasar-lexikon sebagai
sebagai bahasa standar, resmi, seperti bahasa standar Prancis di Haiti, bahasa
standar English di Jamaika, sikap bahasa terhadap kreol menjadi begitu
kompleks. Walaupun merupakan bahasa rumah, intimasi dan solidaritas, bahasa
kreol tidak mendapatkan ‘rasa hormat’, memiliki status sosial rendah, tak
diindahkan dan seringnya keberadaannya disangkal oleh penuturnya itu sendiri.
D.
Diglosia
Istilah
diglosia pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris oleh Charles Ferguson in
1959 (bahasa prancisnya diglossie, yang mana mengisnpirasi pembuatan uang logam Ferguson , awalnya
digunakan oleh seorang linguis Prancis, Marcais). Artikel Ferguson sekarang
dianggap sebagai referensi klasik
diglosia. Diglosia merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan
situasi komunikasi dalam masyarakat yang membuat penggunaan pelengkap pada
pertukaran sehari-hari dari dua kode yang berbeda, baik dua variasi bahasa yang
berbeda ataupun dua bahasa. situasi tertentu mengisyaratkan penggunaan salah
satu kode tersebut, bahasa A pada pelarangan bahasa yang lain, bahasa B, yang
mana hanya dapat digunakan dalam situasi dimana bahasa pertama dilarang. Namun
demikian, definisi ini meliputi banyak variasi. Walaupun ada situasi diglosia
dalam sebuah mayoritas masyarakat, contohnya di Inggris Raya, ada sebuah
perbedaan antara bahasa Inggris yang digunakan antara teman atau ketika
berbelanja dan yang digunakan di universitas atau konferensi-konferensi publik.
Perlu
ditekankan bahwa penggunaan yang lebih disukai dari istilah ini mengacu pada
masyarakat dimana perbedaannya ditandai secara khusus dan sering di sokong
dalam penggunaan variasinya (contohnya, bahasa standar/ patois,
Katharevusa/Demotic di Yunani dan Prancis/ kreol di mayoritas area pembicaraan
kreol Prancis). Umumnya, situasi diglosia ini merupakan situasi konflik bahasa
dimana satu dari bahasa tersebut diistilahkan dengan variasi/ragam ‘tinggi’
bertentangan dengan yang lain yang dianggap ‘rendah’ yang mana yang pertama
digunakan dalam situasi komunikasi yang
dianggap ‘ningrat’ (menulis, penggunaan formal, dll) dan yang berikutnya
digunakan dalam keadaan yang lebih informal (percakapan dengan keluarga dekat dll).
Penggunaan ragam tinggi dapat ditemukan
pada acara-acara seperti pidato kepresidenan, khotbah, kuliah, atau ceramah.
Selain itu ragam tinggi juga bisa ditemukan dari beberapa media seperti
televisi, radio, koran majalah dan lain-lain. Acara-acara yang dimaksud
contohnya dapat disaksiakan atau ditemukan langsung pada saat siaran berita
atau debat ilmiah, tajuk rencana dan artikel di surat kabar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi situasi diglosia menurut Sumarsono (2004: 199) antara lain
partisipan, suasana, dan topik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar