VARIASI BAHASA DITINJAU DARI PENDIDIKAN,
PEKERJAAN, AGAMA, DAN PRANATA SOSIAL
oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.
A. Bahasa dan Pendidikan
Variasi sosial
pengguna bahasa dapat ditinjau dari status sosial dan pendidikan merupakan
salah satu bentuk dari status sosial yang keberadaannya terlihat jelas di
masyarakat. Chaer dan Agustina (2010: 65) mengungkapkan bahwa perbedaan variasi
bahasa berdasarkan pendidikan bukan hanya dapat terlihat pada isi pembicaraan
melainkan juga kosakata, pelafalan, morfologi, dan sintaksisnya. Pendapat ini
juga sejalan dengan teori Bernstein (dalam Sumarsono, 2011: 53) yang menyatakan
ada dua ragam bahasa penutur yaitu kode terperinci dan kode terbatas. Kode
terperinci biasa digunakan dalam situasi formal atau dalam situasi akademik.
Ciri-cirinya mengacu pada ragam bahasa yang tinggi dan bermutu, seperti banyak
menggunakan kata “saya” dalam berbahasa, menggunakan bahasa asing dengan baik,
atau penggunaan bahasa yang tersusun dengan rapi secara gramatikal. Kode
terbatas lebih cenderung pada situasi nonformal. Kode ini umumnya terikat pada
konteks.
B. Bahasa dan Pekerjaan
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang
terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut.
Tiap-tiap pekerjaan memiliki registernya masing-masing. Wardhaugh (2006)
mendeskripsikan register sebagai suatu set ‘language
items’ yang berhubungan secara khusus dengan kelompok sosial atau kelompok
pekerjaan (occupational) tertentu.
Dokter, pilot, manager bank, pedagang, sopir angkot, musisi,atau bahkan mereka
yang bekerja dalam dunia prostitusi memiliki register masing-masing.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ferguson (1994, dalam Wardhaugh, 2006) bahwa
orang-orang yang berkutat dalam situasi komunikasi yang terus berulang
cenderung mengembangkan kosakata, intonasi, dan kepingan karakteristik
sintaksis dan fonologi yang serupa yang mereka gunakan dalam situasi-situasi
tersebut. Variasi jenis inilah yang disebut register. Ferguson menambahkan
bahwa istilah-istilah khusus untuk objek-objek atau kejadian-kejadian tertentu
yang berulang ini tampaknya membantu komunikasi agar semakin ‘cepat’. Sebagai
contoh sederhana, istilah “operasi” yang digunakan dokter, polisi, dan copet
tentu memiliki makna yang berbeda.
C. Bahasa dan Agama
“Alhamdulillah
yah sesuatu”. Mungkin kita semua familiar dengan perkataan salah satu artis
ibu kota tersebut. Perkataan tersebut kemudian menjadi trade mark dari artis yang bersangkutan. Namun, ternyata perkataan
tersebut merupakan contoh dari variasi penggunaan bahasa akibat pengaruh dari
agama. Topik bahasa dan agama relatif baru dalam sosiolinguistik. Perkembangan
sistematis dari bahasa dan agama sebagai suatu bidang dalam sosiolinguistik
bahkan baru dimulai sekitar satu dekade lalu. Sejarah masuknya agama sebagai
salah satu faktor penting dalam variasi bahasa dimulai Haugen dan Fishman,
William Stewart dan Charles Ferguson antara tahun 60-80an di mana hasil
penelitian mereka membeberkan hubungan antara agama dan bahasa. Stewart (1968:
541 dalam Darquennes dan
Vandenbussche, 2011) bahkan
menyusun daftar fungsi bahasa religius sebagai salah satu dari 10 fungsi
bahasa. Dan pada saat artikel Crystal dan Samarin berjudul Language in Religious Practice (1976) diterbitkan, Ferguson (1982)
menguatkannya dengan penelitiannya tentang korelasi distribusi sistem penulisan
dunia dengan penyebaran agama (Darquennes
dan Vandenbussche, 2011).
Salah satu karya yang menjadi
kerangka hubungan bahasa dan agama adalah Concise
encyclopedia of language and religion (2001, dalam Darquennes dan Vandenbussche, 2011) yang diedit oleh
Swayer dan Simpson. Ensiklopedia ini terdiri dari 6 bagian pokok:
1.
Bahasa dalam konteks agama tertentu
Bagian ini terfokus
pada fungsi bahasa dalam agama (agama tradisional Afrika, agama suku Aborigin
Australia, Kristen, Buddha, Confucianisme, Islam, Judaisme, Quakerisme,
Sikhisme, dll).
2.
Tulisan dan terjemahan yang disakralkan
Fokus bagian ini adalah
pada teks sakral seperti Qur’an, Injil, Talmud, terjemahan teks-teks sakral
tersebut serta temuan-temuan arkeologis yang berbentuk tulisan.
3.
Bahasa dan naskah religius
Bagian ini berkenaan
dengan peran bahasa ternntu dalam memunculkan variasi dalam bahasa religi
(Bahasa Latin Gereja, Bahasa Slavonic Gereja, Bahasa Yahudi Aramaic, Panjabi,
dll.)
4.
Penggunaan bahasa-bahasa khusus
Bagian ini mencakup
bahasa dalam konteks konteks tertentu seperti dzikir, pemujaan, mantra,
glossolalia, meditasi, dll, juga dalam keseharian seperti menyebut pujian atau
mengumpat.
5.
Keyakinan tentang bahasa
Bagian ini mencakup
pembahasan filosofis dari bahasa religi dalam agama. Bagian ini juga membahas
kepercayaan tentang kekuatan yang ada dalam nama-nama atau kata-kata tertentu.
6.
Agama dan penelitian bahasa
Bagian ini merangkum
artikel-artikel yang berkenaan dengan kontribusi para peneliti yang memfokuskan
kajiannya pada bahasa dalam konteks agama.
Kerangka kerja yang lain yang berkenaan dengan hubungan
antara bahasa dan agama adalah yang dikembangkan oleh Spolsky (2006, dalam Darquennes dan Vandenbussche, 2011) yang terdiri
dari dimensi-dimensi berikut:
1.
Efek agama terhadap bahasa: Topik-topik penelitian yang memungkinkan
seperti pengaruh agama terhadap pemilihan bahasa, pemeliharaan bahasa (language maintenance) juga
kosakata-kosakata serapan.
2.
Mutualitas bahasa dan agama: Penelitian dalam dimensi ini berhubungan,
sebagai contoh, dengan hubungan dua arah antara agama dan bahasa dalam
perubahan repertoire komunitas
multilingual. Dalam contoh ini, yang dibahas adalah hubungan antara
multilingualisme dengan pluralisme agama.
3.
Efek bahasa terhadap agama: Kemungkinan penelitian yang berkenaan dengan
hal ini adalah kontribusi bahasa (seperti yang digunakan dalam doa) dalam
membangun komunitas yang religius.
4.
Bahasa, agama dan literasi (daya baca): penelitian dalam konteks ini
contohnya adalah pengaruh bahasa dan agama terhadap literasi komunitas
tertentu.
D. Bahasa dan Pranata Sosial
Selanjutnya,
variasi sosial pengguna bahasa pada penuturnya dapat dilihat berdasarkan
pranata sosial. Pranata sosial merupakan sistem norma dalam
masyarakat yang bersifat resmi untuk mengatur tingkah laku guna memenuhi
kebutuhan hidup. Pandangan yang berhubungan dengan variasi bahasa dalam pranata
sosial yaitu Hipotesis Sapir-Whorf.
1.
Hipotesis Sapir-Whorf
Hipotesis yang dikemukakan Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf berkaitan
erat dengan kebudayaan. Hipotesis ini (melalui Cahyono, 1995: 417) menyatakan
bahwa penutur bahasa menggogolong-golongkan dunia menurut batasan yang telah
digariskan oleh bahasa asli yang dimilikinya. Namun, hipotesis Sapir-Whorf ini
tidak dapat diterima sepenuhnya karena ada banyak faktor yang harus dilihat
pada pengguna bahasa. Faktor tersebut adalah:
a.
Lingkungan
fisik.
Lingkungan dapat mempengaruhi bahasa
masyarakat tersebut yang biasanya dalam perbendaharaan kata-kata. Misalnya,
orang nonEskimo bila dipandang dari segi penutur bahasa Inggris memiliki
pengertian tentang snow merupakan
salju dengan berbagai jenis tipe salju seperti salju basah, salju lembut, salju
cair, salju di atas tanah, bongkahan salju, dan sebagainya sedangkan pada orang
Eskimo salju memiliki nama yang berbeda dengan keadaan dan bentuk yang berbeda
pula.
b.
Lingkungan
sosial.
Lingkungan
sosial dapat mencerminkan dan mempengaruhi struktur kosakata dalam berbahasa
misalnya:
1)
Kata
family, pada orang Amerika family mencakup keluarga yang teridiri
dari suami, istri, dan anak-anaknya sedangkan dalam bahasa Indonesia keluarga
dapat mencakup orang-orang di luar suami, istri, dan anak-anaknya.
2)
Orang
Inggris menyebut semua saudara laki-laki dari
bapak dan ibu dalam satu istilah yaitu uncle (paman), sedangkan orang Batak mempunyai panggilan yang berbeda
untuk adik laki-laki dari ayah dan ibu dipanggil Uda/ Amanguda, kakak laki-laki dari ayah dan ibu dipanggil Tulang.
3)
Orang
Inggris memanggil anaknya dengan nama panggilan anak itu saja. Orang Jawa
memanggil memanggil anaknya dengan namanya atau le, nang (untuk laki-laki) dan wuk,
nduk (untuk perempuan). Orang Batak yang memanggil anaknya dengan nama atau
mang (untuk laki-laki) dan nang, boru (untuk perempuan) kemudian
orang Bali memanggil de (dari gede), dek (dari kadek), man (dari nyoman), dan tut (dari ketut) sesuai dengan urutan kelahirannya.
c.
Lapisan-lapisan
masyarakat dan kasta.
Lapisan
dan kasta dalam masyarakat menimbulkan jenjang dalam bahasa komunikasi. Hal ini
dapat terlihat jelas pada beberapa suku di Indonesia yang memiliki sistem kasta
seperti Bali dan Jawa. Penggunaan bahasa terlihat berbeda bila digunakan oleh
orang tertentu pada kastanya masing-masing. Berikut beberapa contoh perbedaan penggunaan bahasa dalam masyarakat Bali.
Perbedaan yang digunakan untuk memanggil orang tua.
Brahmana : Aji untuk ayah dan Ibu untuk ibu
Kstaria :
Aji untuk ayah dan Biang untuk ibu
Sudra :
Bapal/ Guru untuk ayah dan Meme untuk ibu
d.
Nilai-nilai
sosial yang yang berpengaruh pada bahasa masyarakat.
Nilai-nilai
dalam masyarakat ini terlihat jelas dalam hal tabu. Tabu menyangkut tingkah
laku yang terlarang dan dianggap tidak layak. Untuk itu tabu itu tidak
digunakan dan diharapkan menggunakan kata lain. Tabu merupakan kenyataan
linguistik dan kenyataan sosial tetapi tidak ada kaitannya dengan intelegensi.
Misalnya: untuk roh halus yang dianggap penunggu sebuah pohon besar, Orang Jawa
memanggilnya dengan sebutan mbah dan
orang Batak memanggilnya dengan ompu yang
berarti kakek; nenek. Orang Bali menyebut bikul
(tikus) dengan istilah jero ketut.
2.
Teori Inferioritas
Teori ini menganggap ada hubungan antara “bahasa yang jelek”
dengan rendahnya derajat pemakai dalam masyarakat. Bahasa yang kurang baik dan
menyimpang dari bahasa baku diakibatkan dari rendahnya pembawaan dari
penuturnya. Teori ini terlihat jelas telah lamanya dikenal tutur Inggris Negro
Amerika berbeda dengan tutur Inggris orang Amerika kulit putih. Bahasa Inggris
orang Negro terlihat menyimpang dari bahasa Inggris baku (Sumarsono 2011: 94). Sumarsono menambahkan bahwa banyak para ahli lingusitik
segan meneliti bahasa Inggris negro karena hal ini dianggap rasialis.
Sumber Referensi
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Darquennes, Jeroen &
Vandenbussche, Wim. Language and religion as a sociolinguistic field of study:
some introductory notes. Sociolinguistica, International Yearbook of European
Sociolinguistics. 2012.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar