Senin, 13 Mei 2013

VARIASI BAHASA DITINJAU DARI PENDIDIKAN, PEKERJAAN, AGAMA, DAN PRANATA SOSIAL

/47/


VARIASI BAHASA DITINJAU DARI PENDIDIKAN, PEKERJAAN, AGAMA, DAN PRANATA SOSIAL

oleh Rahmat Hidayat, S.Pd.

A.      Bahasa dan Pendidikan
Variasi sosial pengguna bahasa dapat ditinjau dari status sosial dan pendidikan merupakan salah satu bentuk dari status sosial yang keberadaannya terlihat jelas di masyarakat. Chaer dan Agustina (2010: 65) mengungkapkan bahwa perbedaan variasi bahasa berdasarkan pendidikan bukan hanya dapat terlihat pada isi pembicaraan melainkan juga kosakata, pelafalan, morfologi, dan sintaksisnya. Pendapat ini juga sejalan dengan teori Bernstein (dalam Sumarsono, 2011: 53) yang menyatakan ada dua ragam bahasa penutur yaitu kode terperinci dan kode terbatas. Kode terperinci biasa digunakan dalam situasi formal atau dalam situasi akademik. Ciri-cirinya mengacu pada ragam bahasa yang tinggi dan bermutu, seperti banyak menggunakan kata “saya” dalam berbahasa, menggunakan bahasa asing dengan baik, atau penggunaan bahasa yang tersusun dengan rapi secara gramatikal. Kode terbatas lebih cenderung pada situasi nonformal. Kode ini umumnya terikat pada konteks.

B.       Bahasa dan Pekerjaan
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Tiap-tiap pekerjaan memiliki registernya masing-masing. Wardhaugh (2006) mendeskripsikan register sebagai suatu set ‘language items’ yang berhubungan secara khusus dengan kelompok sosial atau kelompok pekerjaan (occupational) tertentu. Dokter, pilot, manager bank, pedagang, sopir angkot, musisi,atau bahkan mereka yang bekerja dalam dunia prostitusi memiliki register masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ferguson (1994, dalam Wardhaugh, 2006) bahwa orang-orang yang berkutat dalam situasi komunikasi yang terus berulang cenderung mengembangkan kosakata, intonasi, dan kepingan karakteristik sintaksis dan fonologi yang serupa yang mereka gunakan dalam situasi-situasi tersebut. Variasi jenis inilah yang disebut register. Ferguson menambahkan bahwa istilah-istilah khusus untuk objek-objek atau kejadian-kejadian tertentu yang berulang ini tampaknya membantu komunikasi agar semakin ‘cepat’. Sebagai contoh sederhana, istilah “operasi” yang digunakan dokter, polisi, dan copet tentu memiliki makna yang berbeda.

C.      Bahasa dan Agama
            Alhamdulillah yah sesuatu”. Mungkin kita semua familiar dengan perkataan salah satu artis ibu kota tersebut. Perkataan tersebut kemudian menjadi trade mark dari artis yang bersangkutan. Namun, ternyata perkataan tersebut merupakan contoh dari variasi penggunaan bahasa akibat pengaruh dari agama. Topik bahasa dan agama relatif baru dalam sosiolinguistik. Perkembangan sistematis dari bahasa dan agama sebagai suatu bidang dalam sosiolinguistik bahkan baru dimulai sekitar satu dekade lalu. Sejarah masuknya agama sebagai salah satu faktor penting dalam variasi bahasa dimulai Haugen dan Fishman, William Stewart dan Charles Ferguson antara tahun 60-80an di mana hasil penelitian mereka membeberkan hubungan antara agama dan bahasa. Stewart (1968: 541 dalam Darquennes dan Vandenbussche, 2011) bahkan menyusun daftar fungsi bahasa religius sebagai salah satu dari 10 fungsi bahasa. Dan pada saat artikel Crystal dan Samarin berjudul Language in Religious Practice (1976) diterbitkan, Ferguson (1982) menguatkannya dengan penelitiannya tentang korelasi distribusi sistem penulisan dunia dengan penyebaran agama (Darquennes dan Vandenbussche, 2011).
            Salah satu karya yang menjadi kerangka hubungan bahasa dan agama adalah Concise encyclopedia of language and religion (2001, dalam Darquennes dan Vandenbussche, 2011) yang diedit oleh Swayer dan Simpson. Ensiklopedia ini terdiri dari 6 bagian pokok:
1.        Bahasa dalam konteks agama tertentu
Bagian ini terfokus pada fungsi bahasa dalam agama (agama tradisional Afrika, agama suku Aborigin Australia, Kristen, Buddha, Confucianisme, Islam, Judaisme, Quakerisme, Sikhisme, dll).
2.        Tulisan dan terjemahan yang disakralkan
Fokus bagian ini adalah pada teks sakral seperti Qur’an, Injil, Talmud, terjemahan teks-teks sakral tersebut serta temuan-temuan arkeologis yang berbentuk tulisan.
3.        Bahasa dan naskah religius
Bagian ini berkenaan dengan peran bahasa ternntu dalam memunculkan variasi dalam bahasa religi (Bahasa Latin Gereja, Bahasa Slavonic Gereja, Bahasa Yahudi Aramaic, Panjabi, dll.)
4.        Penggunaan bahasa-bahasa khusus
Bagian ini mencakup bahasa dalam konteks konteks tertentu seperti dzikir, pemujaan, mantra, glossolalia, meditasi, dll, juga dalam keseharian seperti menyebut pujian atau mengumpat.
5.        Keyakinan tentang bahasa
Bagian ini mencakup pembahasan filosofis dari bahasa religi dalam agama. Bagian ini juga membahas kepercayaan tentang kekuatan yang ada dalam nama-nama atau kata-kata tertentu.
6.        Agama dan penelitian bahasa
Bagian ini merangkum artikel-artikel yang berkenaan dengan kontribusi para peneliti yang memfokuskan kajiannya pada bahasa dalam konteks agama.

Kerangka kerja yang lain yang berkenaan dengan hubungan antara bahasa dan agama adalah yang dikembangkan oleh Spolsky (2006, dalam Darquennes dan Vandenbussche, 2011) yang terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
1.        Efek agama terhadap bahasa: Topik-topik penelitian yang memungkinkan seperti pengaruh agama terhadap pemilihan bahasa, pemeliharaan bahasa (language maintenance) juga kosakata-kosakata serapan.
2.        Mutualitas bahasa dan agama: Penelitian dalam dimensi ini berhubungan, sebagai contoh, dengan hubungan dua arah antara agama dan bahasa dalam perubahan repertoire komunitas multilingual. Dalam contoh ini, yang dibahas adalah hubungan antara multilingualisme dengan pluralisme agama.
3.        Efek bahasa terhadap agama: Kemungkinan penelitian yang berkenaan dengan hal ini adalah kontribusi bahasa (seperti yang digunakan dalam doa) dalam membangun komunitas yang religius.
4.        Bahasa, agama dan literasi (daya baca): penelitian dalam konteks ini contohnya adalah pengaruh bahasa dan agama terhadap literasi komunitas tertentu.

D.      Bahasa dan Pranata Sosial       
Selanjutnya, variasi sosial pengguna bahasa pada penuturnya dapat dilihat berdasarkan pranata sosial. Pranata sosial merupakan sistem norma dalam masyarakat yang bersifat resmi untuk mengatur tingkah laku guna memenuhi kebutuhan hidup. Pandangan yang berhubungan dengan variasi bahasa dalam pranata sosial yaitu Hipotesis Sapir-Whorf.
1.        Hipotesis Sapir-Whorf
Hipotesis yang dikemukakan Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf berkaitan erat dengan kebudayaan. Hipotesis ini (melalui Cahyono, 1995: 417) menyatakan bahwa penutur bahasa menggogolong-golongkan dunia menurut batasan yang telah digariskan oleh bahasa asli yang dimilikinya. Namun, hipotesis Sapir-Whorf ini tidak dapat diterima sepenuhnya karena ada banyak faktor yang harus dilihat pada pengguna bahasa. Faktor tersebut adalah:
a.         Lingkungan fisik.
          Lingkungan dapat mempengaruhi bahasa masyarakat tersebut yang biasanya dalam perbendaharaan kata-kata. Misalnya, orang nonEskimo bila dipandang dari segi penutur bahasa Inggris memiliki pengertian tentang snow merupakan salju dengan berbagai jenis tipe salju seperti salju basah, salju lembut, salju cair, salju di atas tanah, bongkahan salju, dan sebagainya sedangkan pada orang Eskimo salju memiliki nama yang berbeda dengan keadaan dan bentuk yang berbeda pula.
b.        Lingkungan sosial.
            Lingkungan sosial dapat mencerminkan dan mempengaruhi struktur kosakata dalam berbahasa misalnya:
1)        Kata family, pada orang Amerika family mencakup keluarga yang teridiri dari suami, istri, dan anak-anaknya sedangkan dalam bahasa Indonesia keluarga dapat mencakup orang-orang di luar suami, istri, dan anak-anaknya.
2)        Orang Inggris menyebut semua saudara laki-laki dari bapak dan ibu dalam satu istilah yaitu uncle (paman), sedangkan orang Batak mempunyai panggilan yang berbeda untuk adik laki-laki dari ayah dan ibu dipanggil Uda/ Amanguda, kakak laki-laki dari ayah dan ibu dipanggil Tulang.
3)        Orang Inggris memanggil anaknya dengan nama panggilan anak itu saja. Orang Jawa memanggil memanggil anaknya dengan namanya atau le, nang (untuk laki-laki) dan wuk, nduk (untuk perempuan). Orang Batak yang memanggil anaknya dengan nama atau mang (untuk laki-laki) dan nang, boru (untuk perempuan) kemudian orang Bali memanggil de (dari gede), dek (dari kadek), man (dari nyoman), dan tut (dari ketut) sesuai dengan urutan kelahirannya.
c.         Lapisan-lapisan masyarakat dan kasta.
            Lapisan dan kasta dalam masyarakat menimbulkan jenjang dalam bahasa komunikasi. Hal ini dapat terlihat jelas pada beberapa suku di Indonesia yang memiliki sistem kasta seperti Bali dan Jawa. Penggunaan bahasa terlihat berbeda bila digunakan oleh orang tertentu pada kastanya masing-masing. Berikut beberapa contoh perbedaan penggunaan bahasa dalam masyarakat Bali.
Perbedaan yang digunakan untuk memanggil orang tua.
Brahmana         : Aji untuk ayah dan  Ibu untuk ibu
Kstaria              : Aji untuk ayah dan Biang untuk ibu
Sudra                : Bapal/ Guru untuk ayah dan Meme untuk ibu
d.        Nilai-nilai sosial yang yang berpengaruh pada bahasa masyarakat.
            Nilai-nilai dalam masyarakat ini terlihat jelas dalam hal tabu. Tabu menyangkut tingkah laku yang terlarang dan dianggap tidak layak. Untuk itu tabu itu tidak digunakan dan diharapkan menggunakan kata lain. Tabu merupakan kenyataan linguistik dan kenyataan sosial tetapi tidak ada kaitannya dengan intelegensi. Misalnya: untuk roh halus yang dianggap penunggu sebuah pohon besar, Orang Jawa memanggilnya dengan sebutan mbah dan orang Batak memanggilnya dengan ompu yang berarti kakek; nenek. Orang Bali menyebut bikul (tikus) dengan istilah jero ketut.
2.        Teori Inferioritas
Teori ini menganggap ada hubungan antara “bahasa yang jelek” dengan rendahnya derajat pemakai dalam masyarakat. Bahasa yang kurang baik dan menyimpang dari bahasa baku diakibatkan dari rendahnya pembawaan dari penuturnya. Teori ini terlihat jelas telah lamanya dikenal tutur Inggris Negro Amerika berbeda dengan tutur Inggris orang Amerika kulit putih. Bahasa Inggris orang Negro terlihat menyimpang dari bahasa Inggris baku (Sumarsono 2011: 94). Sumarsono menambahkan bahwa banyak para ahli lingusitik segan meneliti bahasa Inggris negro karena hal ini dianggap rasialis.

Sumber Referensi
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Darquennes, Jeroen & Vandenbussche, Wim. Language and religion as a sociolinguistic field of study: some introductory notes. Sociolinguistica, International Yearbook of European Sociolinguistics. 2012.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar